Presiden Amerika Serikat ke-35, J.F. Kennedy (1961-1963) pernah berujar “Jika politik kotor, puisi membersihkannya, jika politik bengkok sastra meluruskannya”.
Berbahagialah orang-orang yang membuat puisi! Berbahagialah sastrawan! Berbahagialah orang-orang lulusan Fakultas Sastra!
Karena, setidaknya lewat dua kata yang disebut Kennedy: puisi, sastra, karya-karya Anda adalah semacam harapan terakhir umat manusia yang jengah dengan perpolitikan.
Puisi dan sastra jadi semacam “pembersih” paling ampuh, agar kehidupan di Bumi jadi bersih kembali dan layak ditinggali spesies homo sapiens macam kita ini.
Lalu apa hubungannya dengan kondisi sekarang? Ya nggak ada sihh hehehehe. Tapi pembaca yang Budiman, kalau mau protes ini tetap ada hubungannya, ya silakan. Monggo. Wong puisi dan sastra kok, kan bebass. Lhaa wong karya seni.
Tapi sebebas-bebasnya hidup di alam ini, tidak ada yang benar-benar bebas. Selalu ada ruang – ruang yang mengawasi, aturan-aturan kaku yang siap menjerat, kuping-kuping netizen, cangkeman wong sirik, atau rekaman-rekaman yang siap menjadi bukti kuat untuk mereka-mereka yang hobi melaporkan orang ke polisi.
Seperti halnya Bu Neno Warisman yang membaca puisi (atau berdoa) ya, di acara Munajat 212 lalu.
Penggalan syairnya kok yo asik banget.
“Kami khawatir tidak ada lagi yang menyembah-Mu”
Kalau secara harfiah saja dimaknainya, mungkin menggelikan. Kami dimaknai sebagai umat manusia atau mungkin lebih sempit lagi ya para peserta Munajat 212 itu di mana Bu Neno memakai kata ganti kami. Sementara, Mu dimaknai adalah Sang Pencipta, Dia: Tuhan.
Akibat ujaran (puisi/doa) itu, jadilah rame. Seperti biasa; dunia nyata maupun dunia maya, semua merespons. Mau kubu sebelah, kubu sebelahnya lagi, atau yang mau ganti kubu, sama-sama merespons.
Demikian juga MUI para tokoh-tokoh, aktris, sampai pedangdut semua merespons.
Tapi di tulisan ini, saya nggak akan menuliskan respons mereka. Silakan cari aja sendiri di media-media lainnya, udah banyak yang nulis.
Wong saya nulis ini aja pakai HP, susah juga kalau Googling lalu kembali buka menu “tulis email” untuk melanjutkan tulisan saya. Saya nggak mau merepotkan diri saya sendiri untuk buka tutup menu di layar henpon semacam itu hahaha.
Kembali lagi ya, terus apa kira-kira maksud dari syair (doa atau puisi itu?) Berkumpul, terus ngomong ke Tuhan, “Iki loh cah-cah wis kumpul, kalau kami nggak dimenangkan, nanti nggak ada yang menyembah-Mu lhoo?” Atau kira-kira mengajak Tuhan untuk berkoalisi, berpolitik praktis, demi Pemilu 17 April nanti?
Wong, Tuhan iku kan wis Maha Segalanya. Rasah ana sing nyembah, Dia tetaplah Tuhan. Justru kita ini, para homo sapiens, yang butuh Tuhan. Setidaknya butuh Pencipta untuk diciptakan.
Lhaaa mending ngumpulkan 7 bola naga kayak di film Dragon Ball, lalu minta kepada Sang Naga untuk mengabulkan keinginan: “Kami minta Paslon kami menang Pilpres!” Saya yakin Sang Naga akan terheran-heran kalau ada permintaan seperti itu dari pengumpul 7 bola naga.