Jika Anda mengikuti serial tulisan di My Stories and My Hopes dari awal, Anda pasti pernah menemukan kalimat yang menyatakan salah satu hal paling menyenangkan bagi saya di penjara adalah ngopi bersama para napi lansia. Pada tulisan kali ini saya akan menjelaskan di mana letak menyenangkannya ngopi bersama para lansia.
Hal umum yang paling menarik dari mereka adalah fakta bahwa mereka masuk ke penjara di usia mereka yang telah senja atau setidaknya di usia segitu mereka masih ada di penjara di saat orang-orang seusia mereka sudah mulai menikmati hidup di usia senja.
Bisa Anda bayangkan, orang-orang tua seperti mereka yang seharusnya sudah menjadi tanggungan dari anak-anaknya dan jika sakit seharusnya diobati dan dirawat oleh anak-anaknya masih ada di penjara dengan kondisi yang serba terbatas. Bagaimana jika mereka sakit di penjara ?
Salah satu sebab saya suka ngumpul dan ngopi bareng bersama mereka adalah ketika saya bersama mereka, saya merasa seakan-akan saya sedang bercengkerama bersama ayah saya. Saya juga jadi lebih bersyukur karena keadaan ayah saya jauh lebih baik dari mereka.
Rasa empati saya kepada mereka tumbuh semakin kuat karena saya juga memiliki orangtua seperti mereka. Ketika di antara mereka ada yang sakit, saya merasa sangat terpanggil untuk membantu mereka. Mungkin saya boleh kehilangan momentum merawat orangtua saya ketika beliau sakit, tapi saya tidak ingin kehilangan momentum untuk berbuat baik kepada teman-teman napi lansia itu.
Cerita bagaimana mereka bisa terjerumus dalam masalah hukum dan kriminal sangat beragam. Tapi bagi saya itu adalah masa lalu mereka. Saat ini merekalah orang-orang terdekat saya yang mana harus jadi prioritas jika ingin membantu. Mereka orang-orang tua yang sudah lemah tapi masih harus menjalani kehidupan di penjara. Jujur saja, saya paling iba melihat mereka daripada melihat napi-napi lain yang masih muda.
Dari mereka saya dapat banyak cerita tentang masa muda mereka. Ada yang pernah jadi kuli panggul di Pasar Induk Kramat Jati (kisahnya menginspirasi salah satu episode dalam novel saya). Ada yang pernah jadi buruh perkebunan cengkeh (ini juga menginspirasi dalam kisah novel saya). Ada yang pintar menjahit, dsb.
Di antara mereka ada beberapa yang saya manfaatkan jasanya. Ada yang biasa saya minta untuk membuat lintingan koran yang nantinya saya rangkai menjadi aneka kerajinan tangan (saya bisa membuat miniatur bis, replika senjata, dll dari lintingan koran). Ada juga yang biasa saya minta membuat peci, menyetrika pakaian, menjahit pakaian yang robek, karena ia memang jadi tamping BLK bagian jahit. Semua itu ada imbalannya.
Untuk kerajinan lintingan koran itu awalnya saya tidak begitu tertarik, tapi karena iba melihat salah satu napi lansia yang jarang dikunjungi keluarganya, saya berilah ia job melinting kertas koran. Kan lumayan bisa buat ngopi. Tapi akhirnya saya ketagihan ketika berhasil membuat sebuah karya. Ada 5 jenis replika senjata api, sebuah kotak tisu, dan sebuah miniatur bis pernah saya buat.
Di antara mereka ada yang pernah saya belikan kacamata baca setelah saya melihatnya pakai kacamata dengan gagang karet gelang karena gagang aslinya sudah patah. Yang lainnya ada yang saya kasih baju, celana atau sarung yang saya dapat dari kawan-kawan yang lain. Tapi ada juga yang ketika mau bebas saya dikasih cincin batu akik sebagai kenang-kenangan.
Begitulah sekelumit kisah saya bersama para napi yang ada di Lapas Salemba. Saya hanya menyebutkan kisah yang cukup berarti dan memberikan banyak pelajaran kepada saya. Dari merekalah saya belajar tentang kemanusiaan, taubat, kekeluargaan, empati sosial, dan belajar menyempurnakan akhlak dan adab dalam pergaulan.
Dengan demikian saya akhiri episode My Prison My College ini dan sekaligus mengakhiri rangkaian kisah saya sejak menjadi ‘jihadis radikal’ sampai menjalani hukuman di lapas. Cerita yang selanjutnya adalah cerita kegiatan saya setelah saya bebas sampai hari ini.
Selamat menantikan kisah-kisah saya selanjutnya !