Musim hujan gini, enaknya makan kue putu. Disajikan panas, kaya karbohidrat, lelehan gula merah di dalamnya, plus taburan parutan kelapa, kue ini sangat memanjakan lidah.
Pedagangnya, kalau yang masih tradisional lewat dengan pikulan. Bunyinya khas…nguuuuunggg…kalau tukang putu pikulan lewat.
Mungkin, pedagang pikulan ini makin susah ditemui. Seperti pengalaman saya, tinggal di kawasan kos mahasiswa, di Jalan Prof Sudharto, kawasan Kampus Undip Tembalang, selama belasan tahun, jarang sekali menjumpainya.
Tetapi ketika saya tinggal di tempat yang agak jauh dari kampus, di perkampungan warga, tepatnya di Banyumanik Semarang, di suatu siang nan hujan rintik, terdengarlah bunyi khas pikulan jajanan putu lewat: nguuung…
Bergegas saya melompat dari kursi, meninggalkan dua buah laptop di depan saya, lari keluar rumah untuk melihat sekeliling. Sudah sekira 50 meteran, pedagang putu itu melintas. Saya panggil, dan saya persilakan untuk masuk di teras kontrakan saya agar tak kehujanan.
“Harganya satunya Rp1000, Mas,” kata si tukang putu.
Saya beli Rp20ribu, kebetulan saat itu ada dua teman lain di kontrakan. Pikir saya, cukuplah, 20 biji dimakan 3 orang. Lumayan pengganjal rasa lapar dan penghangat badan di hari hujan.
Tangan si penjual putu cekatan melayani. Tepung beras yang dicampur potongan kecil gula merah, dicetak dengan potongan bambu kecil-kecil. Lalu potongan bambu yang sudah berisi adonan itu diletakkan di atas kompor yang sengaja dialirkan uapnya.
Jadi kue putu matang karena uap panas. Setelah matang, kue dibungkus di potongan daun pisang, ditaburi parutan kelapa di atasnya.
Si penjual putu juga cerita, kalau musim penghujan begini, pembelinya relatif lebih banyak. Berbeda saat kemarau. Apalagi di Semarang, kalau musim kemarau, panasnya luar biasa. Maklum, kota pelabuhan.
Nah, ngomong-ngomong soal kue putu ini, beberapa sumber menyebutkan kue ini punya nilai historis cukup panjang, tak hanya kebudayaan Indonesia, tapi Asia.
Seperti dikutip dari Republika.co.id, dalam postingannya pada 11 Februari 2018 pada artikel berjudul Merentang Sejarah Kue Puthu. Di sana disebutkan, kue ini dinilai sudah ada sejak 1200 tahun lalu di Dinasti Ming, dari China Silk Museum. Pada masa awalnya dikenal dengan sebutan XianRoe Xiao Long, artinya kue dari tepung beras berisi kacang hijau yang amat lembut dan dikukus dalam cetakan bambu.
Di Indonesia, nama puthu muncul dalam naskah sastra lama, Serat Centhini yang ditulis pada 1814 di masa Kerajaan Mataram, disebutkan, penyebutan kue puthu ini diambil sekira tahun 1630 di Desa Wanamarta, Jawa Timur. Kemungkinan di Probolinggo.
Di dalam naskah, kata puthu muncul saat Ki Bayi Panurta meminta santrinya menyediakan hidangan pagi. Dari hidangan tersebut terdapat nasi goreng, nasi rames, nasi tumpeng dengan lauk ikan betutu dan kambing. Adapun minumannya terdapat serbat dan kopi sedangkan makanan sampingannya, serabi serta puthu.
Melihat beberapa manuskrip tentang kue yang sedang saya makan siang itu, jadi terbayang. Jajanan ini sebenarnya sudah melintas zaman, dinikmati tak hanya di Nusantara ini. Meski berbeda sajian isi, kue ini tetap nikmat dinikmati.
Jajanan tradisional ternyata bisa jadi perantara, pengingat kita kepada leluhur yang sudah hidup mendahului kita berabad sebelumnya.