Alasan Orang Telibat Kembali Dalam Jaringan Teror

Other

by Kharis Hadirin

Di negaramanapun, terorisme selalu dikaitkan dengan tindakan kriminal tingkat tinggiatau extra ordinary crime.


Meskidemikian, konsekuensi berat yang akan ditanggung agaknya tak sedikit membuatindividu merasa jera dan terlibat kembali dalam jeratan yang sama.


Dikutip dalamWarta Pilihan (28/2/2017), Ketua Divisi Humas Polri, Irjen Polisi Boy RafliAmar pernah menyebut bahwa terdapat 300 orang mantan napi terorisme yangterlibat kembali dalam aktivitas yang sama. Jumlah ini tercatat dari total 1200orang yang pernah ditangkap sejak periode 2002 pasca bom Bali hingga tahun2017.


Tentu jumlahtersebut akan jauh lebih besar jika diakumulasikan hingga tahun 2018 denganjumlah penangkapan sebanyak 396 orang selama setahun.


Angka 300tentu bukanlah angka kecil mengingat status hukum tindak pidana terorisme diIndonesia tergolong jenis kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Bahkan aparat keamanan pun tak segan “menghabisi” para pelaku meski masihberstatus sebagai terduga.


Barangkalikita akan bertanya, apa sih yang menyebabkan orang tertarik untuk kembali melakukanaksi teror?


Paling tidak,ada 10 alasan mendasar orang terlibat kembali dalam jaringan teror yang penulisperoleh dari berbagai hasil wawancara.


Pertama, adanya stigma negatif dari masyarakat sebagai seorangmantan teroris.


Hal ini sudahjamak terjadi bagi mereka yang pernah mendekam di dalam penjara karena terlibatdalam kasus terorisme.


Kondisi ini,tentu saja berdampak pada keluarga dalm proses sosialisasi di tengah masyarakatyang ada. Akibatnya, tidak sedikit dari orang-orang menjadi korban stigma inilebih memilih untuk menarik diri dari lingkungan sosial (social society) dan menjadi masyarakat ekslusif yang berujung padaketerlibatan kembali dalam jaringan.  


Kedua, adanya penolakan dari kelompok/jaringan lama dan memperolehpenerimaan dari kelompok baru.


Ketiga, adanya perasaan dendam terhadap pemerintah atau aparatkeamanan atau pihak-pihak lain yang dianggap sebagai musuh.


Fenomena konfliksektarian dianggap menjadi pemicu paling kuat yang menyebabkan individu untukterlibat kembali. Persoalan hukum yang dianggap ‘belum tuntas’ sering dijadikansebagai alasan yang mendorong mereka melakukan aksi kekerasan.


Selain latarbelakang konflik, kekerasan yang dialami oleh para pelaku teror ini pada saatproses penangkapan yang kadang berujung pada adegan ‘tembak mati’ juga kadangmenjadi pemicu traumatis dan dendam di lingkaran kelompok.


Keempat, pembuktian diri atau personal rebranding bahwa individuterkait adalah mujahid tulen bukan sebatas besar suara.


Terkadang,orang memilih untuk mengambil keputusan paling beresiko sekalipun adalah hanyauntuk sebatas mendapatkan pengakuan bahwa ia adalah sosok pejuang atau ‘mujahid’ sejati. Bahkan satu kalimatyang sering digunakan adalah, mereka yang berani berperang di jalan Tuhandengan konsekuensi terbunuh atau membunuh, adalah sebenar-benarnya lelaki.Sehingga bagi mereka, seseorang yang menolak untuk berangkat berperang (jihad),dianggap tidak lagi jantan atau qaa’idun,para kaum pecundang.


Di sisi lain, terkadangjuga munculanggapan sebagai antekBNPT, intel atau mata-mata dan dekat dengan aparat kepolisian.


Kelima, tidak adanya kepedulian dan keinginan untuk merangkul baikoleh negara atau lembaga yang berfokus pada pendampingan mantan narapidanaterorisme maupun dari lembaga sosial yang lain.


Keenam, adanya faktor jejaring atau koneksi dari kelompok semasamasih di dalam tahanan atau ketika sudah bebas.


Dalam banyakkasus, koneksi jaringan kelompok seringkali mencoba untuk menarik kembaliindividu yang telah bebas dengan datang ke rumah melalui proses silaturahmi. Bahkan,terkadang koneksi semacam ini bisa berasal orang-orang dekat seperti keluarga.


Ketujuh, pemahaman atau pengaruh ideologi yang mendorong indidivuuntuk tetap terus memilih jihad.


Ideologidijadikan sebagai alat perjuangan, sehingga sampai kapan pun selama apa yangmenjadi harapan belum terpenuhi, maka perjuangan itu tidak akan berhenti.Misalkan, adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh oknum pemerintah terhadapIslam. Atau adanya keberpihakan kepada kelompok tertentu sehingga memicuterjadinya kecumburuan sosial.


Kedelapan, keterbatasan ekonomi atau tidak adanya lapangan kerja yang memadai.


Seringkaliketika individu mencoba untuk hadir dan berkonstribusi di tengah masyarakat,mereka justru dihadapkan pada stigma. Akibatnya, mereka merasa kesulitan untukmencari pekerjaan, sementara masyarakat juga selalu merasa curiga.


Maka pilihanuntuk kembali kepada kelompoknya dianggap sebagai pilihan yang paling aman.


Kesembilan, penanganan yang tidak serius dari pemerintah kepada paramantan napi teroris yang sudah bisa bersikap kooperatif.


Sikap sepertiini biasa muncul dari pemerintah dengan alasan bahwa individu atau mantan napi teroristersebut belum bisa dipercaya seutuhnya. Akibatnya, mereka memilih untukberjalan sendiri dan lepas dari monitoring pemerintah.


Kasus sepertiini, tak jarang muncul dari orang-orang yang dulunya aktif mengikuti berbagaikegiatan sosial dan kebangsaan yang difasilitasi oleh pemerintah atau lembagaswasta, terjerat kembali dalam jaringan teror.


Kesepuluh, tidak adanya kesempatan untuk berintegrasi di tengahmasrayakat dari pemerintah kepada para mantan napiter.


Hal ini biasanya muncul ketika pemerintah terus-menerus melakukan pendataan dan meminta kepada masyarakat untuk selalu waspada kepada para mantan napiter dan keluarganya.     


Link foto: https://www.nytimes.com/2015/04/19/magazine/her-majestys-jihadists.html

Komentar

Tulis Komentar