Nama Abu Walid disebut-sebut sebagai sosok berpengaruh bagi Harry Kuncoro, residivis terorisme yang ditangkap Densus 88 Antiteror Polri di Bandara Soekarno – Hatta, Tangerang, Banten pada 3 Januari 2019 lalu.
Saat Mabes Polri menggelar konferensi pers perihal penangkapan Harry, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Div Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Dedi Prasetyo, memegang kertas berisi print foto Abu Walid yang mengenakan surban berlatar alam bebas diduga di Suriah.
“Dia disosokkan sebagai algojo ISIS,” kata Dedi ketika itu.
Lalu siapakah Abu Walid ini?
Dari informasi yang dihimpun dan ditelusuri, Abu Walid ini punya nama asli Muhammad Syaifudin alias Muhammad Yusuf Karim Faiz, lahir di Sukoharjo 11 Oktober 1978, tempat tinggal di Dukuh Tempursari, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Klaten. Dia punya 3 saudara kandung.
Sosok berbadan kurus itu adalah alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki Sukoharjo yang didirikan Abu Bakar Ba’asyir. Dia belajar selama 4 tahun tapi tidak lulus sampai Khuliaffatul Mu’alimin atau setara SMA. Sekolahnya dilanjutkan di Jatibarang, Purwokerto, Jawa Tengah.
Saat konflik Ambon meletus, Abu Walid dikabarkan ikut berjihad di sana, bahkan saudara kembarnya yakni Muhammad Nurrudin tewas di konflik itu.
Setelah berjihad di Ambon, Abu Walid melanjutkan sekolah di Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi.
Pada awal dekade 2000-an, Abu Walid terlibat dalam jaringan Jamaah Islamiyah. Dia disebut dekat dengan Noordin M Top. Dia menjadi penyalur uang dari Timur Tengah kepada Noordin M. Top.
Tidak hanya itu dia pun sering bolak-balik ke Filipina Selatan untuk menjalin kontak dengan Dulmatin yang tak lain adalah kakak ipar Harry Kuncoro. Adanya kamp di Filipina Selatan ini erat kaitannya dengan para ‘alumnus jihad’ Afghanistan di mana ada beberapa orang-orang Indonesia mulai era 80’an berangkat ke sana.
Mereka yang pulang ada yang ‘ditugaskan’ oleh atasannya untuk mendirikan kamp di Filipina itu. Salah satunya, untuk bergabung dengan kelompok Muslim yang punya para militer bernama Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang berkonflik dengan rezim pemerintahan.
Beberapa orang Indonesia juga ada yang bergabung di sana dalam rangka ‘jihad’. Nah, para alumnus Afghanistan itu yang jadi instruktur mereka ini.
Soal Abu Walid ini, pada Juni 2016 sempat muncul dalam sebuah video yang dirilis Al Fatihin, media propaganda ISIS berbahasa Melayu. Di situ, Abu Walid tampil mengeksekusi sandera.
Di bawah ISIS, memang terbentuk grup bernama Katibah Nusantara. Isinya orang-orang dari Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang berbaiat dengan ISIS di Suriah. Video propaganda itu menarik hati orang-orang Indonesia yang tak sanggup untuk ‘hijrah’ ke Suriah. (Suriah ini dipropagandakan kelompok ISIS sebagai salah satu daerah Syam, sebuah negeri yang diidamkan, diklaim sebagai simbol kejayaan Islam).
Pimpinan Katibah Nusantara adalah Bahrumsyah, pria asal Banten, sempat kuliah di salah satu “Kampus Islam” di Tangerang. Abu Walid ini disebut sebagai orang dekat Bahrumsyah yang salah satu tugasnya menghubungkan simpatisan ISIS di Filipina, khususnya kelompok Abu Sayyaf.
Jauh sebelum kemunculan Abu Walid di video propaganda itu, tepatnya pada tahun 2004, Abu Walid ditangkap pemerintah Filipina karena kedapatan tidak memiliki dokumen, serta membawa pistol dan bahan peledak. Setelah 9 tahun mendekam di penjara, pada 10 Desember 2013 pengadilan Filipina membebaskannya dan memulangkannya kembali ke Indonesia.
Setelah bebas, Abu Walid dikabarkan menikah dengan RYS, janda dari Urwah (Bagus Budi Pranoto, asal Kudus), yang juga salah satu ‘nama besar’ kelompok teror. Pascanikah Abu Walid ini menghilang tanpa kabar.
Kabar terakhir di bulan Januari 2019, Abu Walid ini tewas karena serpihan peluru tank di Suriah ketika terlibat dalam sebuah pertempuran.
Jalin Komunikasi
Jauh sebelum dikabarkan tewas itu, Abu Walid –sebagaimana dirilis polisi—sekira tahun 2015 pernah menjalin komunikasi dengan Harry Kuncoro. Ketika itu, Harry ditahan di Lapas Pasir Putih Nusakambangan karena kasus terorisme, termasuk keterlibatannya dalam aksi teror Bom Bali I.
Setelah bebas pada Maret 2016, komunikasi Harry dan Abu Walid ini terus berlanjut. Hingga Harry akhirnya mengutarakan keinginan ‘hijrah’ ke Suriah untuk bergabung dengan kelompok Abu Walid (Katibah Nusantara) itu, di bawah ISIS. Bahkan Abu Walid disebut mengirim uang Rp30juta kepada Harry untuk mengurus segala keperluan berangkat ke Suriah itu.
Setelah dapat paspor dengan identitas palsu, Harry sempat melapor ke Abu Walid via Telegram, dan oleh Abu Walid kembali diberikan sejumlah dana untuk biaya perjalanan ke Suriah. Dia mendapat arahan dari Abu Walid jika jalur ke Suriah yang terbuka adalah melalui Khurasan, Iran.
Abu Walid sempat memberikan kontak Telegram jaringannya di Indonesia yang berada di Khurasan yakni Abu Yahya. Pertengahan Desember 2018, Abu Yahya menghubungi Hari melalui Telegram, meminta email dan foto paspornya. Selanjutnya mereka berkomunikasi via TamTam Messenger.
Rencana keberangkatan dijalankan. Tapi, sebelum terbang ke Iran menggunakan maskapai penerbangan Oman Air, Densus 88 Antiteror menciduknya di Bandara Soekarno – Hatta.