Selama menjalani masa pidana di lapas, kami para napiter juga mendapatkan beberapa kali kegiatan yang merupakan bagian dari program pembinaan kami. Program pembinaan para napiter itu mayoritas adalah kegiatan re-edukasi, baik yang diselenggarakan oleh BNPT maupun dari para akademisi. Selain re-edukasi, selama saya menjalani pidana di lapas Salemba kami juga pernah mendapatkan dua kali pelatihan ketrampilan, yaitu pelatihan bercocok tanam dengan sistem hidroponik dari BNPT dan pelatihan perbaikan AC dari Pusat Riset Ilmu Kepoilisian dan Kajian Terorisme Universitas Indonesia (PRIK-KT UI).
Untuk kegiatan re-edukasi, selama saya di Lapas Salemba kami menerima sebanyak enam kali kegiatan re-edukasi. Tiga dari BNPT dan tiga lagi dari PRIK-KT UI. Oh iya, selain re-edukasi dan pelatihan ketrampilan kami juga beberapa kali menjalani kegiatan ‘monitoring’ dari BNPT. Yang dimaksud kegiatan monitoring itu adalah kami diminta untuk mengisi form kuesioner/angket tentang pemikiran kami dan memainkan game untuk mengetahui perkembangan pemikiran kami juga.
Dari ketiga jenis kegiatan pembinaan yang kami terima itu yang paling saya suka dan menurut saya paling bermanfaat bagi saya pribadi adalah kegiatan re-edukasi. Mengapa ?
Karena dalam kegiatan re-edukasi itu didatangkan para pakar dan ahli yang akan berdialog, berdiskusi, dan memaparkan materi-materi terkait wawasan keislaman yang lebih luas, wawasan kebangsaan, dan bimbingan psikologi. Saya bisa bertemu dan berkonsultasi dengan para tokoh dan ahli sekelas Profesor, Doktor, atau minimal para lulusan S2 secara gratis bahkan dapat uang pembinaan. Hehe..
Dari program re-edukasi itu pula saya mendapatkan penjelasan mengapa para cendekiawan muslim bisa menerima Pancasila tetapi tetap meyakini bahwa Islam adalah yang terbaik. Saya juga jadi tahu tentang sejarah kemuliaan dan kejayaan Islam di seluruh dunia yang diakui oleh semua pihak, di mana hal itu menginspirasi bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan. Meskipun ada juga yang merasa terancam dengan kehadiran Islam lalu memeranginya.
Saya belajar memahami konsep perjanjian damai antara muslim dengan masyarakat atau bangsa-bangsa di sekitarnya yang tentu saja memiliki beragam latar belakang. Saya belajar tentang diplomasi. Saya belajar menempatkan urusan sesuai kondisi yang ada tanpa harus kehilangan sebuah idealisme. Saya belajar mengatasi konflik yang merupakan sebuah keniscayaan dalam hidup bermasyarakat.
Semua itu saya dapatkan dari hasil perenungan di dalam lapas dan dibantu oleh arahan dan masukan dari para ahli yang datang.
Bagi sebagian kawan sesama napiter hal itu dianggap hanya sebagai acara formalitas dan cenderung meremehkan para ahli yang datang, sehingga bagi mereka kegiatan seperti itu tidak ada manfaatnya.
Tetapi bagi yang mau mengambil manfaat pasti akan mendapatkan manfaat dari kegiatan itu. Kebaradaan para kriminal di lapas saja bisa mendatangkan manfaat berupa hikmah dan pelajaran bagi diri ini, apalagi kehadiran orang-orang pinter itu.
Setiap mengikuti program re-edukasi saya selalu menanyakan kepada setiap narasumber apakah mereka siap membantu atau bekerjasama dengan saya setelah saya bebas nanti ? Dari reaksi mereka masing-masing, saya kemudian menentukan siapa saja yang berpotensi untuk benar-benar membantu karena memang tidak semuanya bisa (bersedia) membantu.
Dan setelah saya bebas pun hubungan dengan beberapa ahli yang pernah datang masih terus terjaga. Mereka adalah orang-orang yang senang melihat perubahan positif dari orang yang pernah mereka bina. Apalagi jika mau berkarya dan meminta bimbingan mereka dalam karya itu, mereka menyambutnya dengan senang hati.
Dari situlah saya kemudian berkesimpulan, bahwa jika mau berkarya, maka masyarakat akan menyambut baik karya itu apa pun kualitasnya. Karena dengan berkarya masyarakat mendapat bukti bahwa saya telah berubah.