
Gitar akustik
Seorang kawan -yang juga berprofesi sebagai pengamen serabutan di Kota Semarang- tetiba chat saya lewat WhatsApp (WA) akhir pekan lalu.
“Bro, lagi rame di grup dan di medsos!,” kira-kira seperti itu dia membuka percakapan.
Sambil tetap di depan laptop, karena saya kebetulan malam itu sedang ngetak-ngetik, sekenanya membalas. “Piye? (gimana),” jawabku.
Lalu dia membalas lagi, kira-kira isinya seperti ini. Banyak kawan-kawannya –sesama pengamen, termasuk beberapa komunitas pecinta musik terutama OI (sebutan untuk penggemar Iwan Fals), termasuk dia, lagi resah.
Sebabnya adalah adanya RUU Permusikan. Itu loh, yang digagas Komisi X DPR RI, sang wakil rakyat tercinta.
“Itu bikin resah lhoo Bro! Teman-teman pada protes!,” dia mulai ngegas!
Akhirnya aktivitas ngetik di laptop, saya hentikan dulu. Saya minta dia datang ke kontrakan, untuk ngobrol soal itu. Walaupun pengamen, teman saya itu, ibaratnya ngikutin banget isu-isu yang berkembang, minimal lewat media sosial.
Kami juga kenal sudah lama, 10 tahunan lebih dan memang sering ngopi dan ngobrol bareng. Kadang saya juga sering lihat dia nyanyi di panggung jalanannya, dari kafe sampai warung ke warung. Pernah juga ikut di bus kota bareng dia, nggitar bareng.
Dia jago main gitar, dan suaranya keras banget kalau nyanyi. “Wong ndalan yo ngene (orang jalanan ya begini!),” ungkap dia sekali waktu kepada saya.
Tak berapa lama, tak sampai 30 menit dari chat terakhir tadi, dia sudah sampai ke kontrakan. Seperti biasa, kami mengobrol. Laptop saya tinggal di meja kamar.
“Daripada aku bingung kudu piye (aku bingung mau gimana), mending takon kowe (mending tanya kamu) kan biasanya nduwe informasi, referensi,” dia membuka obrolan.
Aku isin (malu) sekaligus merasa terharu. Saya isin karena memang ndak ngerti soal musik, soal musik cuma hobi dengerin lagu-lagu, nggitar pun sak ngawure sing penting jrengg.
Paling-paling (beruntungnya jadi wartawan), pernah ngobrol bareng sampai tanya jawab sama beberapa musisi (yang saya ingat seperti Kotak, Power Slaves, /rif, Gigi, Gugun Blues Shelter, Ari Lasso, Ipang, Gilang Ramadhan) saat konferensi pers sebelum konser ketika akan tampil di Semarang. Mulai dari album, bagaimana industri bergerak, sampai mayor dan indie label.
Dengan seadanya, saya coba ngobrol aja sama dia –kawan pengamen yang resah tadi-. “Sing aku ngerti wae ya (yang saya tahu aja ya), nanti harus baca-baca lagi, minimal berita di internet,” kataku ke dia.
Saya cerita ke dia, bahannya salah satunya ingat-ingat waktu nulis skripsi dulu, saya mbahas tentang Slank dan Slankers. Lebih ke gaya hidup yang jadi indentitas mereka. Ada bab sendiri di mana saya nulis perkembangan musik rock di Indonesia (yang beberapa sumbernya saya dapat dari majalah-majalah lama di pasar loak, seperti tabloid Hai, Rock, sampai beberapa buku sejarah musik).
Pada konteks Indonesia, Presiden Sukarno pernah mengeluarkan larangan bagi warganya membawakan lagu-lagu asing berbahasa Inggris, sekitar 50’an. Saat itu, sebagai sebuah negara, Indonesia baru aja merdeka, masih anget–anget-nya.
Pada konteks global, sekitaran tahun itu juga sedang booming rock’n roll dengan Elvis Presley jadi ikonnya. Seluruh dunia gegap gempita, termasuk warga Indonesia.
Sukarno khawatir kalau itu dibiarkan, bisa jadi merusak budaya asli Indonesia, budaya ketimuran. Lalu upaya tangkal kekhawatiran itu, saat perayaan Proklamasi 17 Agustus 1956 dikeluarkan manifesto yang dikenal Manipol USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia). Salah satu tujuannya ya ingin memurnikan kepribadian Indonesia, jadi jangan terpengaruh Barat lewat musik-musik itu. (Sukarno menyebutnya musik ngak ngik ngok)
Bukan isapan jempol, Sukarno melarang itu. Juni Tahun 1965, Koes Bersaudara diciduk aparat dan dipenjara selama 3 bulan karena membawakan lagu-lagu The Beatles di sebuah acara makan malam di Tanah Abang Jakarta.
Waktu Soeharto jadi Presiden, kebijakan berubah. Salah satunya ya tadi itu, musik barat mulai diperbolehkan masuk, termasuk film-filmnya. Kebijakan ini terus bergulir sampai sekarang, hingga tiba-tiba muncul RUU Permusikan di awal 2019 ini (alias sekira 3 bulanan sebelum digelar Pemilu Presiden maupun anggota DPR).
Saya bilang ke dia, kawan yang pengamen tadi, mungkin memang tujuannya pemerintah itu baik. Jangan sampai orang terpengaruh negatif lewat musik-musik yang (menurut para pembuat aturan) nggak baik.
Seperti pada Pasal 5 RUU Permusikan yang jadi sorotan. Diatur para musisi dilarang membawa budaya barat yang negatif, menistakan agama, mengandung konten pornografi, membuat musik provokatif sampai yang merendahkan harkat martabat manusia. Jika ada produksi seperti itu maka pembuatnya dikenasi sanksi.
“Rata-rata pada menolak Bro!,” kata saya pada dia.
Setidaknya dari Instagram para musisi yang saya ikuti. Seperti DewiQ, Indra Qadarsih, dan banyak lagi. Termasuk Stevi Item yang postingannya begini:
Ribut-ribut RUU Permusikan, lah tempat main musiknya aja loh nggak ada
Postingan Stevi Item di Instagram sejak 7 hari lalu itu (akhir Januari) sampai sekarang (Rabu 6 Februari 2019) sudah di-like 13.581 orang.
Dari postingan-postingan lainnya, para musisi itu juga pada protes RUU Permusikan itu. Ada pula yang menanyakan, RUU Permusikan mengenai hak-hak musisi, hak cipta, soal pembajakan, itu dibahas apa nggak?
“Mungkin masih dan bakalan panjang Bro!,” lanjut saya ke kawan pengamen tadi.
“Tapi tetep pasti banyak yang protes!,” timpalnya.
Dalam hati, wah keren juga kawan ini. Kawan saya ini lulusan kejar paket (yang mungkin bagi beberapa orang dianggap sekolah “kelas dua”).
Di sisi lain, terharu juga saya sama dia, ketika menerima suatu informasi atau isu. Ndak mau ditelan mentah-mentah, terus sekadar ikut-kutan terbawa arus atau protes begitu saja. Dia mencari tahu, mengumpulkan informasi, tanya sana sini, agar punya pandangan baru, tak sekadar ikut arus. Joss!