Pernyataan RG terkait “kitab suci adalah fiksi “ dalam diskusi Indonesia Lawyers Club (ILC) di TV One pada 10 April 2018 lalu, menuai polemik. Bahkan, pernyataan itu berujung pelaporan ke polisi oleh Jack Boyd Lapian.
Jumat (1/2/2019) pekan lalu, RG diperiksa oleh penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya atas kasus ini.
Berikut adalah pernyataan RG, yang saya transkrip dari rekaman video tersebut, yang berujung perkara hukum;
“Karena udah dua bulan ini kata fiksi itu menjadi kata yang buruk. Kitab suci fiksi atau bukan? Siapa yang berani jawab? (semua terdiam kemudian beberapa tertawa, tersenyum, termasuk Karni Ilyas).
Kalau saya pakai definisi bahwa fiksi itu mengaktifkan imajinasi, kitab suci itu adalah fiksi. Karena belum selesai, belum tiba itu
Babat Tanah Jawi itu fiksi…ada di sebut apa saja itu.
Jadi ada dari fungsi fiksi itu mengaktifkan imajinasi, menuntun kita untuk berfikir lebih imajinatif”
Untuk membedahnya, sejenak kita melihat definisi fiksi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Fiksi diartikan sebagai; cerita rekaan (roman, novel dan sebagainya), rekaan ; khayalan, tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khalayan atau pikiran
Sementara fiktif berarti (sesuatu) yang bersifat fiksi, hanya terdapat dalam khayalan.
Pada konteks Indonesia, ada Pancasila yang menempatkan ketuhanan sebagai posisi tertinggi. Jadi masyarakat Indonesia itu bertuhan. Keberadaan-Nya, diimani, meski tidak bisa dijangkau hanya sekadar dengan indrawi. Diyakini ada kekuatan besar di luar jangkauan indrawi.
Pengakuan keberadaan Tuhan itulah yang selanjutnya memunculkan ritus-ritus untuk menyembah-Nya.
Entah itu ritus peribadatan agama-agama besar, mulai dari Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha maupun Konghucu ataupun ritus-ritus lain, dari berbagai suku bangsa yang tidak mengenal agama, misalnya; upacara tolak bala, selamatan, upacara kelahiran maupun kematian atau ritual-ritual lain.
Hemat saya, berbagai ritus itu adalah perwujudan atas bagaimana kemampuan akal dan panca indra (dengan segala keterbatasanya) menangkap eksistensi Tuhan kemudian wujudkan dalam berbagai laku ragawi.
Artinya, ada persamaan melakukan ritual (meski berbeda cara) sebagai manifestasi pengakuan keberadaan Tuhan. Jadi suku-suku bangsa yang tidak mengenal agama bukan berarti tidak beragama.
Mereka tetap memeluk agama, sesuai dengan kepercayaan masing-masing memanifestasikan dengan berbagai ritus, tentang penangkapan mereka akan eksistensi Tuhan.
Inilah yang paling fundamen, kenapa pernyataan RG tentang kitab suci fiksi itu menuai protes di Indonesia.
Tentu, ketika -kitab suci yang merupakan wahyu Tuhan- disebut fiksi pastilah menuai kontroversi.
Pada konteks filsafat dan kebudayaan, kitab suci tidak bisa dianalogikan begitu saja dengan sesuatu. Esensi kitab suci tidak bisa begitu saja disebut sebagai sesuatu yang merangsang imajinasi.
Suci adalah hakekat Tuhan, sementara manusia dengan keterbatasannya tidak mampu mencapai hakekat itu secara sempurna.
Melalui ayat-ayatnya, kitab-kitab suci memberikan gambaran, pengetahuan, ataupun peringatan kejadian, yang bahkan sudah ada sebelum pengetahuan (manusia) yang selanjutnya berkembang jadi ilmu-ilmu pengetahuan itu sendiri.
Sebagaimana dituliskan J.W.M.Bakker SJ: Filsafat Kebudayaan: sebuah pengantar (Penerbit Kanisius, 1984):
…Suatu pertanyaan lain yang tidak kalah menggangunya adalah, bukankah agama-agama besar seperti Islam, Buddha, Hindu serta Kristen memiliki kitab-kitab suci, yang oleh para pemeluknya semua itu dianggap berasal dari Tuhan? Bukankah itu berarti bahwa agama bukanlah produk suatu kebudayaan? Tentang asal-usul kitab suci tersebut ahli Antropologi tidak akan menyangkalnya, sejauh memang demikianlah keyakinan para pemeluknya.
Tapi, kita ingat bahwa manusia mempunyai akal-pikiran, mempunyai sistem pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta simbol-simbol, digunakan untuk menjelaskan keadaan yang dihadapi.
Ayat-ayat yang ada dalam kitab suci, yang berasal dari Tuhan tadi toh tidak dapat dipahami seluruhnya secara tuntas.
Pemahaman manusia sangat terbatas. Mereka tidak mampu mencapai hakekat dari ayat-ayat suci itu. Mereka hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci dengan kemampuan yang ada.
Di sinilah agama telah menjadi hasil kebudayaan manusia. Berbagai tingkah laku keagamaan bukanlah diatur oleh ayat-ayat dari kitab suci, melainkan oleh interpretasi mereka terhadap ayat-ayat suci tersebut…
Pada konteks filsafat, Bakker menyebut agama tidak ditanggapi sebagai kategori insani semata. Sebab, bagi filsafat, agama merupakan keyakinan hidup rohani pemeluknya:
…merupakan jawab manusia kepada panggilan Ilahi dan di sini terkandung apa yang disebut iman. Iman tidak berasal dari suatu tempat ataupun pemberian makhluk lain. Iman ini asalnya dari Tuhan, sehingga nilai-nilai yang muncul dari daya iman ini tidak dapat disamakan dengan karya-karya kebudayaan yang lain, sebab karya tersebut dari Tuhan…
Bebas Beradab
Pertanyaan selanjutnya, kalau Tuhan pemberi wahyu (diimani), bisakah wahyu Tuhan itu layak disebut fiksi?
Inilah yang jadi persoalan di Indonesia -berujung persoalan hukum membelit RG itu-, sebab, tentu saja hukum positif di negara ini menempatkan Pancasila sebagai grandnorm, khususnya sila ke-1 tentang Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada konteks hukum soal dugaan penistaan agama sebagaimana pelaporan ke kepolisian itu, tentu saja pernyataan RG itu dinilai mendiskreditkan, menyudutkan pemeluk agama.
Umat yang menjunjung kitab sucinya tidak harus dipaksa untuk menempatkan pernyataan RG sebagai wacana filsafat dan akademik, yang lebih penting bagi mereka adalah mereka tidak terima ada seseorang yang merendahkan kesakralan kitab suci.
Untuk penyelidikan yang sedang dilakukan, tentu selain harus menggandeng ahli bahasa, budaya maupun filsafat, tak kalah penting penyidik harus pula menghadirkan ulama, pendeta, pastor ataupun biksu sebagai ahli.
Dalam polemik ini, jadi ingat lagu Slank berjudul Ngindonesia, berikut petikan liriknya;
Demokrasi, demokrasi, demokrasi yang Pancasila
Kita bebas, tapi bebas yang beragama
Kita bebas tapi bebas yang ber-Tuhan
…kita bebas tapi bebas yang manusiawi, kita bebas tapi bebas yang beradab…kita bebas tapi bebas yang bersatu, kita bebas tapi bebas yang ngindonesia…(album: Slank Nggak Ada Matinya, 2013)