Saling Menghormati Memang Mengasyikkan

Other

by Eka Setiawan

Ada yang menarik ketika dilangsungkan kegiatan Diskusi Publik dan Launching Laporan Tahunan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Jawa Tengah Tahun 2018 dengan tema: Bisakah Memupus Intoleransi? diadakan oleh Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, Kamis (31/1/2019) kemarin.


Kegiatan itu berlangsung di aula Gereja IFGF Semarang,alamatnya di Jalan Kompol Maksum nomor 195 Kota Semarang. Ketika itu, gerejamasih dalam tahap pembangunan.


Selain tentu saja acara diskusinya jadi semacam oase dipadang gurun, bahwa masyarakat masih ada kepedulian untuk bersama-sama terusmerawat kebhinekaan, yang tak kalah menarik juga prosesi acara itu sendiri,lengkap dengan berbagai fasilitasnya.


Acaranya digelar di aula yang super adem, fasilitas lighting yang oke dengan tata suara luarbiasa enak.


Mungkin kalau di acara konser musik yang bayarnya mahaltermasuk bioskop – bioskop yang juga bayarnya cukup merogoh kocek, mendapat fasilitasseperti itu sudah sangat biasa.


Setidaknya ini menurut saya ya.


Karena dari beberapa diskusi yang saya ikuti, termasuksaya jadi panitianya, di Kota Semarang, diskusi – diskusi dengan panitiaseadanya dengan biaya gratis, undangannya pun mengandalkan pesan berantai dimedia sosial yang gratis pula, paling banter diselenggarakan di kampus sajaataupun duduk melingkar di bawah pohon, tempat teduh atau ruang publik.


Fasilitasnya tentu berbeda, kadang ruangan sempit danpanas, kadang pencahayaan tidak oke, mikrophone yang kerap feedback bunyi nging nging.


Ini bukan bermaksud mencela ya. Tapi, setidaknya ketikaada masyarakat sipil murni dari uang patungan membikin acara, ketikapihak-pihak lain peduli dengan tema atau pesan yang diusung, bukan tidakmungkin kegiatan akan berlangsung lebih meriah dan nyaman.


Seperti diskusi eLSA di penghujung Januari 2019 itu. Saat sambutan, panitia betul-betul merasa bangga dan respect kepada tuan rumah, dalam hal ini Gereja IFGF, yang sangat terbuka menerima dan memfasilitasi plus pelayanannya. Tujuannya tak lain adalah memupuk kebhinekaan bersama-sama.


Seperti yang diungkapkan Budi Hidayat, pendetasetempat. 


“Kita merasakan ada tembok-tembok yang mulai berdiri,menimbulkan sekat-sekat, khususnya dalam perbedaan agama dan berkeyakinan,”kata Pendeta Budi Hidayat saat naik panggung memberikan sambutan pembukaan.


Sebab itulah, Budi sangat senang kalau ada masyarakatyang mau duduk bersama, mencari solusi bagaimana perbedaan-perbedaan ituseharusnya tak perlu dipersoalkan, malah harus dijunjung tinggi, salingmenghormati.


“Agar yang dicita-citakan para pendiri bangsa tentangBhinneka Tunggal Ika dapat tercapai,” lanjutnya.


Budi atau pihaknya, tak mempersoalkan, walaupun yangdatang itu berpeci, berkerudung, membuka dengan assalamualaikum ataupun bismillahirohmannirohim,maupun penganut kepercayaan lain yang berbeda dari yang dianutnya. Di antarayang hadir ada pula dari Ahmadiyah, Gusdurian, penganut Hindu ataupunkepercayaan lain.


Toh mereka semua tetap tersenyum. Bahasa antar manusiayang paling mudah sekaligus menyenangkan adalah senyum.


Pihak gereja tentu tidak khawatir, acara itu, membukadengan assalamualaikum, lantasdianggap upaya “Islamisasi”. Tidak. Buktinya tidak ada penolakan dari pihakgereja. Menyejukkan.


Pemandangan ini tentu saja kontras dengan yang terjadidi Kota Solo beberapa waktu lalu, ketika pemasangan keramik menyerupai bentuksalib dianggap sekelompok orang sebagai upaya Kristenisasi. Kemudian protes kepemerintah setempat yang akhirnya berujung pencopotan keramik itu.


Mestinya, hal-hal yang menyejukkan, macam yang terjadidi Gereja IFGF ketika menerima dengan gembira perbedaan itu, haruslah terusterjadi di Indonesia. 


Saya yang terus mbathin,jadi makin respect saja sama tuanrumah acara itu. Salah satunya soal urusan toilet. Di ruangan diskusi yangsuper adem tentu merangsang metabolisme tubuh untuk mengeluarkan cairan (hehehemenghindari diksi: pingin kencing, halahhhh)


Untuk urusan itu, tuan rumah yang diwakili muda mudiberkaus hitam yang ada tulisannya IFGF, pun sangat ramah. Mereka dengan senanghati menunjukkan di mana letak toilet.


Toiletnya pun sangat bersih. Hemat saya, ini jugabagian dari menghormati tamu.


Dan tak kalah kaget, ketika mau masuk toilet, cleaning service­-nya pun tak kalahramah. Mempersilakan, dengan senyum, ketika saya mau masuk toilet.


Tak berhenti sampai di situ. Saat keluar, saya sudahsiap-siap mau mengucapkan maturnuwunsama si cleaning service itu, eh malah keduluan dia.


“Terimakasih,” kata si cleaning service itu.


Saya jadi kaget. Loh! Harusnya saya Pak, yang maturnuwun. Maturnuwun sudah diterima dengan sangat baik di rumah panjenengan, sampai-sampai untuk urusanbuang air kecil itu, tetap dihormati sedemikian rupa. 


Saling menghormati memang begitu mengasyikkan!

Komentar

Tulis Komentar