Saya tidak perlu menceritakan jalannya interogasi dan penyidikan, karena itu merupakan ranah privasi saya dan para penyidik dan interogator saya. Yang jelas, saya merasa masih diperlakukan cukup manusiawi oleh para penjaga saya meskipun harus tetap mengikuti protap mereka. Bahkan ada penjaga yang sempat berbincang soal piala dunia dengan saya. Ya, dengan tangan dan kaki yang terborgol dan mata yang tertutup, saya sempat asyik ngobrol tentang tim jagoan masing-masing di piala dunia 2014.
Sejenak saya meredakan pikiran saya yang seharian dipaksa bekerja keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dari para interogator dan memikirkan keluarga saya dengan ngomongin sepakbola. Sekarang jika dipikir-pikir, ternyata sepakbola bisa menyatukan antara polisi dan tahanan yang galau. Hahaha…mungkin petugas itu jika membaca cerita ini juga akan tertawa.
Malam pertama setelah menjalani interogasi awal, yang saya pikirkan adalah keluarga saya. Bagaimana perasaan mereka ketika tahu saya ditangkap polisi ? Bagaimana mereka akan bertahan hidup tanpa saya sementara saya masih hidup menyaksikan penderitaan mereka ? Mungkin saya siap menerima kenyataan ini, tapi bagaimana dengan mereka ?
Setelah menjalani ‘masa orientasi’ bersama para interogator dan penyidik selama 7 x 24 jam, saya kemudian di bawa ke Rutan Mako Brimob. Di Rutan Mako Brimob (RMB) saya menempati salah satu sel di blok B yang ruangan selnya lebih luas dibandingkan sel di blok A dan C. Ruangan sel di blok A dan C terdiri dari masing-masing 8 ruangan dengan ukuran 3×4 meter. Sedangkan di blok B terdiri dari 4 ruangan dengan ukuran 6 x 4 meter. Pada era saya ruangan sel di blok A dan C diisi masing-masing 6-7 orang, sedangkan ruangan sel di blok B diisi masing-masing 7-9 orang.
Ketika di RMB itulah saya bisa menghubungi keluarga by phone. Pada saat itu handphone ada tapi sangat terbatas dan kami menggunakannya bergantian untuk menelepon keluarga. Alhamdulillah, saya sangat lega ketika mengetahui keluarga saya bisa menerima kenyataan ini dan hanya berpesan agar saya menjaga diri dan berusaha agar dapat segera kembali bersama keluarga. Adapun kesusahan yang terjadi akan dihadapi bersama-sama sebagai sebuah konsekwensi hidup sebuah keluarga besar.
Cerita soal keberadaan handphone ini tidak bisa disembunyikan karena sangat berperan dalam cerita saya selanjutnya. Di RMB ada dan di Lapas pun ada, artinya kami bisa memilikinya meski dengan persyaratan dan konsekwensi yang berat. Bagi saya itu tidak masalah, toh saya tidak menggunakannya untuk merekrut jaringan atau memerintahkan orang untuk melakukan amaliyah. Saya murni menggunakannya haya untuk komunikasi dengan keluarga. Saya tidak perlu menceritakan bagaimana teknisnya kami bisa mendapatkan handphone, biarlah itu menjadi rahasia kami dan ‘orang-orang’ yang membantu kami.
Di RMB kami mendapat giliran olahraga seminggu sekali bergantian jadwalnya dengan kamar lain. Jadwal olahraga adalah setiap hari Selasa dan Jumat, berbarengan dengan jadwal besukan. Jika hari Selasa adalah giliran kamar 1 dan 2, maka pada hari Jumatnya giliran kamar 3 dan 4. Begitulah jadwal olahraganya, setiap hari Selasa dan Jumat dari jam 7.00 sampai 8.30 pagi. Sedangkan jam besukan adalah dari 10.00- 12.30 (sesi pertama) dan jam 13.30-15.00 (sesi kedua).
Prosedur besukan di RMB memang ketat, harus melewati pemeriksaan berlapis dan mengikuti berbagai ketentuan. Tapi ada fasilitas yang spesial di RMB, yaitu adanya ruang biologis bagi suami istri yang ingin menunaikan hajatnya. Meskipun harus antri dan dibatasi waktunya, tapi sudah cukuplah kata teman-teman yang biasa menggunakannya. Fasilitas ini tidak saya dapati ketika berada di Lapas.
Hari Selasa dan Jumat adalah hari di mana kami mendapat sedikit kebahagiaan dengan adanya olahraga dan kunjugan dari keluarga. Bagi yang tidak dikunjungi pun setidaknya akan senang dengan pembagian oleh-oleh dari keluarga kawan yang dibesuk meskipun itu mungkin hanya berupa beberapa butir permen atau sekeping dua keping biskuit. Saya baru merasakan betapa nikmatnya dan betapa berartinya sebutir permen adalah ketika di penjara.
Di situlah saya merasakan pelajaran tentang syukur yang paling berarti. Ratusan kali ceramah para ustadz dan muballigh tentang syukur terasa kurang berkesan, tetapi sebutir permen dan sekeping biskuit pemberian sesama tahanan cukup membuat rasa syukur itu begitu kuat membekas dalam jiwa. Hal ini kemudian membuat saya kemudian tak pernah ‘sayang’ terhadap rezeki yang saya dapat ketika di penjara.
Setiap kali saya dipanggil oleh penyidik untuk sebuah proses penyidikan saya selalu minta kebutuhan logistik untuk di kamar seperti gula,kopi,teh,sabun cuci, dsb. Kadang diberikan berupa barang, tapi tak jarang pula dikasih uang tunai agar dibelanjakan melalui sipir. Setelah penyidikan kasus-kasus yang melibatkan saya selesai pun saya masih sering ‘malakin’ para penyidik saya, dan selalunya mereka akan kasih dengan alasan kemanusiaan.
Saya tidak peduli dibilang oleh sebagian teman sudah mau berbaik-baik dengan ‘anshar thaghut’, atau ada yang lebih kasar menyebut dengan menjilat aparat, tapi yang penting dengan begitu saya bisa sedikit berbagi kebahagiaan dan meringankan beban sebagian kawan-kawan yang lain. Toh mereka yang mencela itu juga mau menggunakan pemberian dari para penyidik itu.