MY PRISON MY COLLEGE : Rutan Mako Brimob (2)

Other

by Arif Budi Setyawan

Saya tidak perlu menceritakanjalannya interogasi dan penyidikan, karena itu merupakan ranah privasi saya danpara penyidik dan interogator saya. Yang jelas, saya merasa masih diperlakukancukup manusiawi oleh para penjaga saya meskipun harus tetap mengikuti protapmereka. Bahkan ada penjaga yang sempat berbincang soal piala dunia dengan saya.Ya, dengan tangan dan kaki yang terborgol dan mata yang tertutup, saya sempatasyik ngobrol tentang tim jagoan masing-masing di piala dunia 2014.


Sejenak saya meredakan pikiransaya yang seharian dipaksa bekerja keras untuk menjawab pertanyaan-pertanyaandari para interogator dan memikirkan keluarga saya dengan ngomongin sepakbola.Sekarang jika dipikir-pikir, ternyata sepakbola bisa menyatukan antara polisidan tahanan yang galau. Hahaha…mungkin petugas itu jika membaca cerita ini jugaakan tertawa.


Malam pertama setelah menjalaniinterogasi awal, yang saya pikirkan adalah keluarga saya. Bagaimana perasaan merekaketika tahu saya ditangkap polisi ? Bagaimana mereka akan bertahan hidup tanpasaya sementara saya masih hidup menyaksikan penderitaan mereka ? Mungkin sayasiap menerima kenyataan ini, tapi bagaimana dengan mereka ?


Setelah menjalani ‘masaorientasi’ bersama para interogator dan penyidik selama 7 x 24 jam, sayakemudian di bawa ke Rutan Mako Brimob. Di Rutan Mako Brimob (RMB) sayamenempati salah satu sel di blok B yang ruangan selnya lebih luas dibandingkansel di blok A dan C. Ruangan sel di blok A dan C terdiri dari masing-masing 8ruangan dengan ukuran 3x4 meter. Sedangkan di blok B terdiri dari 4 ruangandengan ukuran 6 x 4 meter. Pada era saya ruangan sel di blok A dan C diisimasing-masing 6-7 orang, sedangkan ruangan sel di blok B diisi masing-masing7-9 orang.


Ketika di RMB itulah saya bisamenghubungi keluarga by phone. Pada saat itu handphone ada tapi sangat terbatasdan kami menggunakannya bergantian untuk menelepon keluarga. Alhamdulillah,saya sangat lega ketika mengetahui keluarga saya bisa menerima kenyataan inidan hanya berpesan agar saya menjaga diri dan berusaha agar dapat segerakembali bersama keluarga. Adapun kesusahan yang terjadi akan dihadapibersama-sama sebagai sebuah konsekwensi hidup sebuah keluarga besar.


Cerita soal keberadaan handphoneini tidak bisa disembunyikan karena sangat berperan dalam cerita sayaselanjutnya. Di RMB ada dan di Lapas pun ada, artinya kami bisa memilikinyameski dengan persyaratan dan konsekwensi yang berat. Bagi saya itu tidakmasalah, toh saya tidak menggunakannya untuk merekrut jaringan ataumemerintahkan orang untuk melakukan amaliyah. Saya murni menggunakannya hayauntuk komunikasi dengan keluarga. Saya tidak perlu menceritakan bagaimanateknisnya kami bisa mendapatkan handphone, biarlah itu menjadi rahasia kami dan‘orang-orang’ yang membantu kami.


Di RMB kami mendapat giliranolahraga seminggu sekali bergantian jadwalnya dengan kamar lain. Jadwalolahraga adalah setiap hari Selasa dan Jumat, berbarengan dengan jadwalbesukan. Jika hari Selasa adalah giliran kamar 1 dan 2, maka pada hari Jumatnyagiliran kamar 3 dan 4. Begitulah jadwal olahraganya, setiap hari Selasa danJumat dari jam 7.00 sampai 8.30 pagi. Sedangkan jam besukan adalah dari 10.00-12.30 (sesi pertama) dan jam 13.30-15.00 (sesi kedua).


Prosedur besukan di RMB memangketat, harus melewati pemeriksaan berlapis dan mengikuti berbagai ketentuan.Tapi ada fasilitas yang spesial di RMB, yaitu adanya ruang biologis bagi suamiistri yang ingin menunaikan hajatnya. Meskipun harus antri dan dibatasiwaktunya, tapi sudah cukuplah kata teman-teman yang biasa menggunakannya.Fasilitas ini tidak saya dapati  ketikaberada di Lapas.


Hari Selasa dan Jumat adalah haridi mana kami mendapat sedikit kebahagiaan dengan adanya olahraga dan kunjugandari keluarga. Bagi yang tidak dikunjungi pun setidaknya akan senang denganpembagian oleh-oleh dari keluarga kawan yang dibesuk meskipun itu mungkin hanyaberupa beberapa butir permen atau sekeping dua keping biskuit. Saya barumerasakan betapa nikmatnya dan betapa berartinya sebutir permen adalah ketikadi penjara.


Di situlah saya merasakanpelajaran tentang syukur yang paling berarti. Ratusan kali ceramah para ustadzdan muballigh tentang syukur terasa kurang berkesan, tetapi sebutir permen dansekeping biskuit pemberian sesama tahanan cukup membuat rasa syukur itu begitukuat membekas dalam jiwa. Hal ini kemudian membuat saya kemudian tak pernah‘sayang’ terhadap rezeki yang saya dapat ketika di penjara.


Setiap kali saya dipanggil olehpenyidik untuk sebuah proses penyidikan saya selalu minta kebutuhan logistikuntuk di kamar seperti gula,kopi,teh,sabun cuci, dsb. Kadang diberikan berupabarang, tapi tak jarang pula dikasih uang tunai agar dibelanjakan melaluisipir. Setelah penyidikan kasus-kasus yang melibatkan saya selesai pun sayamasih sering ‘malakin’ para penyidik saya, dan selalunya mereka akan kasihdengan alasan kemanusiaan.


Saya tidak peduli dibilang olehsebagian teman sudah mau berbaik-baik dengan ‘anshar thaghut’, atau ada yanglebih kasar menyebut dengan menjilat aparat, tapi yang penting dengan begitusaya bisa sedikit berbagi kebahagiaan dan meringankan beban sebagiankawan-kawan yang lain. Toh mereka yang mencela itu juga mau menggunakanpemberian dari para penyidik itu.

Komentar

Tulis Komentar