Suatu waktu, di penghujung tahun 2018, seorang kawan ngechat saya lewat WhatsApp: curhat. Tempat tinggalnya di Kawasan Pantura Barat Jawa Tengah.
Kawan itu dicurhati oleh orang tuanya. Mereka merasa risih (untuk menghindari diksi takut) karena ada tetangganya yang berpenampilan ‘aneh’, setidaknya menurut mereka.
Tampilannya begini; yang laki-laki berjenggot panjang, celana cingkrang, yang perempuan yang terlihat cuma dua matanya, sebab semuanya tertutup busana.
Ketakutannya sudah saya tebak. Ya betul; orang itu seperti teroris!
Ternyata penampilan seperti itu bisa buat takut seseorang, bahkan mungkin khalayak. Sebabnya, ada stereotipe yang melekat dari penampilan itu; kalau ada yang berpakaian begitu pasti teroris!
Entah dari mana muasal asli stereotipe negatif semacam ini. Saya menerka, mungkin saja dari pemberitaan berbagai media tentang kasus-kasus teror yang pernah terjadi di Indonesia.
Misalnya; kelompok para pelaku Bom Bali yang berpakaian seperti itu. Kejadian itu hampir tiap hari tayang di televisi, bahkan sampai ada filmnya. Coba saja cari di YouTube: Long Road to Heaven.
Pakaiannya sama persis dari yang kawan saya ceritakan lewat chat tadi. Plus mungkin gaya bicaranya sama; kearab-araban.
Tidak ada aku, kamu. Yang ada ‘ana’, ‘ente’ ataupun sebutan lain ‘akhi’, ‘ukhti’. Ini juga sama persis WA yang diterima ibu saya ketika memesan buku karangan ustaz asal Sumatera yang ceramahnya selalu trending itu. “Ukhti, jadi beli bukunya?,” kira-kira begitu.
Dalam hati, wahh betapa sederhananya menilai seseorang, jahat atau tidaknya, dari penampilan saja. Begitu sederhananya membuat cap kepada seseorang.
Stereotipe pelaku teror dari penampilan itu setidaknya membuat logika saya jungkir balik saat teringat salah satu pelaku teror di Thamrin Jakarta, awal 2016 silam.
Pelakunya berdandan sangat trendy; berkaus ala distro, celana jeans, sepatu kets, ransel dan topi. Lalu di tengah keramaian dia menodongkan pistol, membawa bom.
Barangkali dari kejadian Thamrin itu yang membuat kelakar tertuju kepada saya. Tak lama setelah kejadian itu; teman-teman saya sesama pewarta sempat berkelakar; wah pelakune mirip kowe tampilane! (pelakunya mirip kamu penampilannya!)
Itu juga yang mungkin membuat beberapa provost Polda Jateng yang saat itu ikut waspada, turut melihat saya dari atas sampai bawah, disusul; tertawa lepas!
Asem tenan!
Begitupula ketika saya bertemu dengan beberapa eks narapidana terorisme. Sempat ada pula yang berkelakar; wah, antum seperti teroris!
Dalam hati; asem tenaaan (2)! Saya memang hobi pakai jeans, sepatu kets, topi dan berkaus. Ransel memang hampir tiap hari saya bawa, karena di dalamnya berisi beberapa perangkat liputan. Ransel itu jadi semacam kantor kedua saya.
Yah dari kelakar-kelakar itu, dari ketakutan orang tua kawan saya itu, setidaknya bisa saya tarik kesimpulan. Ini pendapat pribadi lho yaa, ojo dirusuhi; penampilan dan aksi teror itu tidak ada relevansinya. Bisa jadi yang kearab-araban, bisa jadi yang kebarat-baratan hahaha.
Lantas bagaimana? Ya begini saja biar gampang; jangan suka menyederhanakan suatu fenomena yang sebetulnya sangat kompleks. Apalagi menyimpulkan, memberikan stereotipe hanya dari penampilan saja.
SUMBER GAMBAR: https://www.dictio.id/uploads/db3342/original/3X/4/9/49c4a3670bed1c0198fe45781dee926ee0b120dd.jpg