Suatu saat, seorang teman dari salah satu universitas di Jogjakarta pernah bercerita saat ia menjadi panitia OSPEK di kampusnya. Ketika para mahasiswa baru diminta untuk menuliskan cita-citanya, salah satu dari mereka justru berhasil mencuri perhatian.
Di atas kertas karton yang dikalungkan di lehernya, dengan mantap ia menuliskan sebuah cita-cita : “INGIN SEPERTI HOTMAN PARIS”.
Karuan saja hal ini mengundang tawa. Saat ditanya tentang alasannya, ia mengaku iri melihat Hotman yang hidup dikelilingi banyak wanita, memiliki kehidupan yang mewah, aset properti yang melimpah, dan gaji sampai turah-turah (Red: berlebihan).
Hotman Paris Hutapea, publik mana yang tak mengenal pengacara kondang satu ini. Namanya bercokol di deretan papan atas sebagai pengacara dengan bayaran yang fantastis. Bahkan dalam satu kasus yang dia tangani, ia bisa meraup pundi-pundi rupiah hingga mencapai milyaran.
Ia dikenal bukan oleh publik tanah air saja. Bahkan pada 2014 lalu, seperti dikutip media Nasional Sindonews (14/10/2014) namanya disebut dalam Capital Profile sebagai advokat terbaik se-Asia.
Capital Profile adalah lembaga terkemuka di Hong Kong yang cukup berpengaruh di pasar saham Asia dan China.
Karenanya, tak berlebihan memang jika mahasiswa baru tersebut terinspirasi ingin menjadi sepertinya.
Sebagai publik figur tanah air, barangkali dialah satu-satunya orang yang secara terang benderang mengekspose kehidupannya secara apa adanya. Bahkan orang kampung pedalaman sekalipun bisa turut menikmati gaya hidupnya melalui sosial media miliknya. Terutama karakternya yang flamboyan dengan gaya hidup bak borjuis.
Termasuk saat menanggapi nyinyiran dari netizen atas gaya hidupnya ini, dengan santainya dia mengatakan, “Ngak usah sok pamer di medsos! Bokek lu!”
Belakangan, namanya kembali menjadi sorotan publik. Bukan soal gaya hidupnya yang di kelilingi banyak wanita, melainkan upaya dia memfasilitasi masyarakat kelas bawah.
Atas keprihatinannya melihat ketimpangan hukum di tanah air, pengacara beken ini pun berinisiatif membuka jasa konsultasi hukum secara terbuka dan tanpa dipungut biaya. Dan tempatnya, bukan di kantor mewah, melainkan di sebuah kedai.
Namanya Kedai Kopi Johny (Joni), yang berlokasi di Jalan Kopyor Raya Blok Q1 Nomor 1, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Melalui Kedai Kopi Joni, ia menemui masyarakat lainnya yang ingin berbagi cerita tentang persoalan hukum yang menimpa mereka.
Mereka yang datang ke kedai ini pun cukup beragam. Mulai dari masyarakat biasa, pengusaha, konglomerat, artis, bahkan para pejabat sekalipun. Dan umumnya, mereka datang dari berbagai daerah di tanah air, termasuk juga mancanegara.
Sebagai pengacara dengan bayaran tinggi, di tempat ini ia justru menawarkan jasa secara cuma-cuma.
Salah satu kasus yang sempat viral adalah soal perkara hukum yang menimpa Baiq Nuril. Seorang guru sekolah di Matarm, NTB yang menjadi korban pelecehan seksual. Ia ditangkap dan diancam pidana setelah melaporkan sang pelaku yang juga atasannya ke pihak kepolisian.
Tentu saja publik merasa geram. Nyata bahwa hukum tak lagi berperan seharusnya.
Korban yang mestinya dilindungi, justru dianggap bersalah setelah merekam percakapan asusila untuk dijadikan sebagai barang bukti.
Ramai-ramai netizen memintanya untuk menyatakan sikap dan dukungan terhadap Baiq. Hotman akhirnya bersuara dan menyayangkan putusan hukum yang ada. Dan akhirnya, penahanan Baiq pun ditangguhkan, bahkan kini kasusnya sudah diputihkan.
Fenomena Kopi Joni tentu menjadi hal baru di republik ini. Di saat masyarakat memandang bahwa pemerintah seolah tidak hadir dan dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik, Kopi Joni justru menjadi pilihan alternatif.
Wajar saja, jika akhirnya warung ini pun ramai pengunjung dari berbagai tanah air. Kedatangan mereka sendiri bukan sekedar ingin nongkrong semata atau hanya berfoto ria, namun juga menjadi tempat untuk berkeluh kesah.
Sebelum fenomena Kopi Joni ini, hal serupa dulu juga pernah terjadi. Yakni ketika masa pemerintahan Gubernur DKI, Basuki Tjahaya Purnama. Ia memfungsikan kantor Balai Kota sebagai tempat untuk menampung berbagai persoalan yang terjadi di DKI. Dan dari sanalah aspirasi itu muncul, dari masyarakat itu sendiri. Salam Kopi Joni!