Barangkali, kata PHP sudah menjadi istilah populer untuk mendekripsikan bagi hati yang merasa dikecewakan. PHP atau Pemberi Harapan Palsu tak sekedar terjadi dalam dunia roman picisan atau cinta monyet anak-anak ingusan. Seorang jihadis yang pernah malang-melintang dalam medan pertempuran dan berkalung senapan pun kadang tak luput menjadi korban. Lebih tepatnya, menjadi korban perasaan.
Dan inilah kisah yang dialami oleh Anang Muhtadi alias Pak Enal. Ia mengumpankan dirinya sebagai martir pada proses hukum yang akan merenggut semua kehidupannya. Kehidupan sebagai manusia yang bebas dan kehidupan bersama keluarga.
Pak Enal ditangkap oleh pihak kepolisian pada 2007 silam setelah dinyatakan terlibat dalam aksi teror di Poso.
Tahun 2009, ia bebas bersyarat setelah menjalani masa hukuman selama hampir 4 tahun atas kasus terorisme yang menimpa dirinya.
Dan begitulah realita hidup. Kadang apa yang kita perjuangkan dan bela mati-matian, tak selalunya mendapatkan penghargaan atas upaya yang dilakukan. Hal manis yang ia harapkan, justru rasa pahit dan kecewa yang didapatkan.
Pak Enal ditampik oleh orang-orang yang dulu pernah dibelanya. Ia dianggap sebagai musuh kelompok, penghianat, dan berbagai tuduhan lainnya.
“Antum nggak usah ikut kajian sama kita. Nama antum sudah kami ‘putihkan’ (red: dicoret). Jadi lebih baik antum tidak usah kesini lagi,” kenang Pak Enal kepada penulis saat ditemuinya di Lapas Kelas 1 A Tangerang, Banten.
Meski mencoba tetap tegar, namun raut kecewa nampak tersirat jelas di wajahnya saat mengetahui dirinya ditolak kembali oleh kelompok yang selama ini ia perjuangkan.
Barangkali, setiap orang pernah melakukan kesalahan. Dan tak selalunya kesalahan tersebut dilakukan tanpa melalui proses perenungan yang dalam. Terkadang ada hal lain yang harus dikorbankan demi membela sesuatu yang dianggapnya memiliki nilai yang lebih besar.
Pengalaman hidup semasa di penjara mengajarkan banyak hal, terutama tentang bagaimana menghargai hak hidup bagi sesama. Ia juga terpaksa harus kehilangan waktu berharga bersama anak-anak dan istri yang ditinggalkannya di rumah.
Meski ia adalah seorang mantan narapidana teroris, sejatinya ia hanyalah manusia biasa sebagaimana pada umumnya. Ia bisa merasa kecewa dan sakit hati. Saat mencoba berbuat terbaik untuk kelompoknya, justru tidak memperoleh penghargaan yang layak.
Bahkan ketika ia harus mendekam di dalam sel, tak ada satu pun dari orang-orang yang pernah dibelanya dulu datang menengoknya di balik pengapnya penjara. Atau sekedar memberikan santunan bagi keluarga yang terpaksa ia tinggalkan di rumah. Dan saat dirinya bisa menghirup kembali udara bebas, justru dirinya diacuhkan dengan melabelinya berbagai stigma.
Setelah bebas dari penjara, bukannya menikmati kesempatan hidup kedua. Justru ia gamang dengan kebebasan yang ada. Bagaimana tidak, selain mengalami penolakan dari kelompok yang selama ini ia bela, ia juga mengalami penolakan dari masyarakat dimana ia dan keluarga tinggal di dalamnya.
Di tengah kondisi sulit semacam itu, di saat negara tidak hadir untuk memberikan alternatif baru bagi para eks-napiter untuk bersinergi kembali, saat masyarakat kian tak peduli dan lebih banyak mencaci. Justru ada kelompok lain yang bersedia mengulurkan tangan padanya.
Santoso (alm.), selaku pimpinan kelompok MIT (Mujahidin Indonesia Timur) di Poso, datang kepadanya dan merangkulnya untuk bergabung bersama kelompoknya.
Bak gayung bersambut, mengiba belas kasih dari kelompoknya namun penolakan yang ia terima, justru muncul kelompok lain yang menerimanya dengan tangan terbuka.
Meminjam teori Maslow tentang hirarki kebutuhan dasar manusia, bahwa sejatinya setiap individu membutuhkan self-esteem, yakni adanya penghargaan diri, perasaan diterima sebagai makhluk sosial. Dan Santoso muncul sebagai antitesa dari kelompok dimana Pak Enal selama ini berada.
Adanya pengakuan dan penerimaan dirinya secara apa adanya dari Santoso inilah yang pada akhirnya membuat Pak Enal terjerat kembali dalam kubangan yang sama.
Dan pada Selasa (7/6/2011), Pak Enal kembali ditangkap pihak kepolisian atas tuduhan sebagai penyuplai amunisi yang digunakan oleh kelompok Santoso dalam penembakan pos polisi di Bank BCA Palu.
Kisah tentang Pak Enal tentu memberikan pesan, bahwa orang bisa terjebak kembali pada aktivitas terorisme tidak selalunya karena unsur individunya, tetapi adakalanya lingkungan sosial di sekitarnya juga punya andil yang sama.
Karenanya, dengan kita acuh dan selalu berprasangka buruk pada orang-orang seperti Pak Enal, justru akan membuka pintu baru bagi mereka untuk terlibat kembali. Sebab hakikatnya, mengatasi persoalan terorisme tidak hanya sekedar menolak pemahaman tersebut, tetapi juga perlu merangkul mereka dengan memberikan kesempatan kedua sebagai insan berguna untuk sesama.
Link foto: https://www.spectator.com.au/2017/03/father-son-and-holy-ghost/