Lagi, pahlawan devisa kita harus mengakhiri hidupnya di negara orang. Almarhumah Tuti Tursilawati. Tuti dieksekusi mati oleh pemerintah Arab Saudi karena diduga membunuh majikannya, Suud Malhaq Al Utibi pada tahun 2010. Saat itu, Tuti ditangkap dan dipenjarakan hingga akhirnya dieksekusi pada 29 Oktober 2018.
Menurut Migran Care, Tuti berangkat pada 2009 dari Majalengka. Tuti hanya bekerja selama 8 bulan dimana 6 bulan pertama ia tidak mendapatkan gaji. Selama bekerja, Tuti mendapatkan kekerasan seksual oleh majikannya. Ia melakukan pembelaan diri yang berakhir dengan terbunuhnya Suud Malhaq Al Utibi. Tuti kemudian melarikan diri ke Mekah membawa sejumlah perhiasan milik majikannya. Namun, perjalanan dari Thaif ke Mekah tak berlangsung lancar, Tuti diperkosa oleh 9 pemuda di perjalanan yang juga mengambil semua barang bawaan Tuti. Tuti ditangkap satu hari setelah kejadian pada 12 Mei 2010. Pemuda yang memperkosanya pun telah menerima hukuman yang berlaku di Arab Saudi.
Selama 8 tahun Tuti ditahan, Pemerintah Indonesia terus melakukan pendampingan. Namun, Arab Saudi tidak memberikan notifikasi kepada KBRI ketika eksekusi. Tidak seperti kasus Masani dan Sumiati, mereka mendapatkan notifikasi dari pemerintah Arab Saudi sehingga KBRI berhasil menyelamatkan kedua Pekerja Migran Indonesia (PMI) ini. Namun, ada 200 PMI lain yang terancam eksekusi hukuman mati di Arab Saudi dengan berbagai kasus.
Menurut Dian, seorang Diplomat dari Kementerian Luar Negeri, Arab Saudi sering kali memberikan notifikasi tidak resmi atau bahkan tanpa notifikasi terkait permasalahan WNI disana. Misalnya, kasus terbaru, kasus yang dialami oleh Habib Riziq Shihab dimana notifikasi penangkapan Imam Besar FPI tersebut hanya melalui telepon. Tidak ada surat resmi dari pemerintah Arab Saudi yang diterima oleh KBRI. Namun, KBRI melakukan pendampingan terhadap yang bersangkutan melalui jaminan dari Kementerian Luar Negeri.
Namun, masalah bukan hanya terjadi pada pihak negara Arab Saudi. Sering kali masalah juga berawal dari ketidaksiapan dan ketidaktahuan Pekerja Migran Indonesia. Selama 6 bulan pertama, Almh Tuti tidak mengetahui bahwa ada proses pemotongan gaji dari pihak PJTKI (Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia) yang memberangkatkan Tuti selama 6 bulan. Pemotongan ini dilakukan sebagai pengganti uang pengurusan administrasi, visa, pelatihan dan pemondokan. Jumlahnya bervariasi dari pemotongan 6 bulan hingga 8 bulan, mulai dari 80% hingga 100% tergantung PJTKI dan negara tujuan PMI. Ini kemudian sering dikeluhkan oleh PMI, padahal hal tersebut tercantum pada kontrak yang mereka tanda tangani. Bukan hanya masalah gaji, dalam kasus lain, PMI sering kali tidak mengerti pekerjaannya. Eti, seorang PMI di Singapura bercerita, bahwa Singapura pernah menghukum seorang PMI karena membunuh majikannya. PMI tersebut mendorong majikan lansianya dari lantai 10 hingga meninggal dunia. Perbuatan PMI tersebut disebabkan karena ia kesal ketika lansianya dianggap manja dan sering marah-marah.
Selain masalah antara negara dan PMI, majikan pun tak jarang menemui masalah. Eksploitasi dan pelecehan seksual sangat sering terjadi. Banyak majikan di Arab Saudi menganggap PMI sebagai hamba sahaya yang ‘halal’ untuk dipergauli. Tak hanya di Arab Saudi, banyak majikan di banyak negara menganggap PMI sebagai buruh kasar yang dapat diperlakukan seenaknya karena telah dibayar. Pada beberapa bulan lalu contohnya, seorang PMI asal Cianjur yang baru menyelesaikan kontraknya di Uni Emirat Arab harus ditangkap oleh pihak kepolisian Bandara Soekarno Hatta. Ia melahirkan paksa di toilet pesawat karena takut pulang ke rumah dalam keadaan hamil. Ia diperkosa oleh majikannya ketika bekerja di Dubai.
Advokasi dan perlindungan PMI tidak dapat dilakukan terhadap negara tujuan saja. Indonesia sebagai negara pengirim juga harus melakukan edukasi yang mumpuni terhadap calon PMI dan PJTKI yang bersangkutan sehingga hal ini tidak kembali terjadi.
Semoga tidak ada kisah seperti ini lagi ..