Seandainya Bisa Memilih

Other

by Kharis Hadirin

Hukum demokrasi menjamin kita untuk bebas menyuarakan berbagai aspirasi, ide, dan gagasan tanpa ada sekat apapun. Karena dasarnya lidah itu tak bertulang, maka bebaslah ia berkata-kata sesuka hati dengan suara lantang.

Meski demikian, ada kalanya gagasan manis yang terucap tak selalunya semanis apa yang didengar. Mungkin inilah diksi yang tepat untuk menggambarkan kisah safari dari seorang tokoh nasional, Prabowo Subianto.

Bermula dari sebuah kunjungannya di Boyolali, Jawa Tengah pada Selasa (30/10/2018) lalu. Di depan para simpatisan dan masyarakat, ia menyampaikan berbagai persoalan yang mendera republik ini, salah satunya adalah soal ketimpangan sosial di tengah masyarakat.

"...Dan saya yakin kalian nggak pernah masuk hotel-hotel tersebut (Hotel Ritz Carlton dan Waldorf Astoria), betul? (Betul, sahut hadirin yang ada di acara tersebut). Mungkin kalian diusir, tampang kalian tidak tampang orang kaya, tampang kalian ya tampang Boyolali ini." ucap Prabowo sebagaimana dikutip dalam berita harian Kompas (06/11/2018, 15:36 WIB).

Alih-alih mendapat simpati dari publik, yang terjadi justru pidatonya dianggap tak elok dan terkesan merendahkan martabat orang lain.

Berbagai elemen masyarakat di Kabupaten Boyolali pun memberikan respon dengan turun ke jalan menuntut kepada Prabowo untuk meminta maaf atas ucapannya tersebut. Bahkan tagar ‘save muka Boyolali’ ramai menghiasi beranda media sosial.

Terlepas dari persoalan politik apapun, menghakimi seseorang berdasarkan tampilan fisik dan latar belakang agaknya sudah menjadi barang jamak dan susah untuk dipisahkan dari gaya hidup masyarakat kita.

Lihat saja berbagai pertunjukan pertelevisian di tanah air, lebih banyak menampilkan sisi diskriminatif daripada sekedar menyuguhkan tontonan yang menghibur. Bahkan dalam penerimaan kerja pada sebuah perusahaan saja, sering dilampirkan tampilan fisik sebagai persyaratan utama, bukan integritas atau kapabiliti.

Karenanya, sangatlah berlebihan jika masyarakat merasa terhina hingga harus melakukan aksi unjuk rasa ke jalan-jalan. Bahkan Bupati Boyolali sendiri sampai menyematkan nama binatang sebagai makian yang dialamatkan kepada mantan jenderal tersebut. Toh, nyatanya kita sendiri juga sudah terbiasa gemar menghina dan merendahkan orang.

Jika pada dasarnya masyarakat kita demikian adanya, maka patutlah bersyukur bagi yang terlahir sebagai kaum priyayi dengan paras anggun nan mempesona. Merdeka sebagai generasi unggulan sejak masih berupa jabang bayi dan tidak perlu khawatir soal stigma ‘tampang kalian tidak tampang orang kaya’.

Kalau seandainya boleh memilih, tentu saya ingin dilahirkan dari rahim Ratu Elizabeth sehingga bisa menjadi penerus tampuk pemerintahan kerajaan Britania Raya. Paling tidak, mungkin saya akan menjadi pujaan para wanita di seluruh dunia sebagai calon suami idaman.

Seandainya boleh memilih, ingin rasanya beranak dari keturunan seorang habib besar atau kyai pengasuh pondok pesantren dengan jumlah santri ribuan hingga puluhan ribu. Tentu tak susah sekedar menunjuk muka seorang gadis yang layak untuk dipersunting sebagai tambatan hati, sekalipun menjadi istri muda.

Atau barangkali jika saya terlahir dari keturunan Hotman Paris Hutapea, mungkin saat ini sedang duduk di salah satu restoran di sudut kota London sambil menikmati bruschetta ditemani segelas anggur merah California bersama teman-teman bule.

Nyatanya, hidup kadang tak semanis kaleng biskuit khong huan, penuh misteri. Unpredictable, tak mudah ditebak. Tampilan luarnya biskuit, namun setelah dibuka tutupnya ternyata isi rengginang.

Kita tidak bisa memilih dari siapa dilahirkan dan darimana berasal. Sebagai sebuah bangsa majemuk dengan penduduknya yang heterogen, kita disatukan dalam satu nampan bernama Indonesia. Tidak peduli latar belakang suku, ras, bahasa dan agama, orang kota maupun desa, semua memiliki hak yang sama sebagai warga negara.

Tentu nasib baik akan menyapa bagi siapa saja yang mau berusaha dengan tekad sekeras baja. Tak sedikit kisah seorang anak kampung pedalaman yang berhasil meraih gelar doktor di universitas ternama dunia. Atau seorang tukang becak yang berhasil menyekolahkan anak-anaknya di Fakultas Kedokteran yang mahal. Atau, siapa menyangka seorang anak kecil yang dulunya hidup di bantaran sungai kini menjelma menjadi seorang tokoh nasional.

Tak peduli dari mana asalnya, siapa orang tuanya, apa latar belakangnya, dan dari kampung ataukah orang kota. Semuanya bergerak sama, menjemput suratan takdirnya masing-masing dengan penuh segenggam asa, kelak akan menjadi apa dirinya.

Karenanya, menghakimi seseorang berdasarkan latar belakang dan asal muasal, bukan saja mencederai rasa kemanusiaan, tapi juga menunjukkan betapa congkaknya sebagai sesama umat manusia.

Mengutip perkataan Noor Huda Ismail, “Terlahir sebagai warga negara Indonesia adalah takdir, tapi nasib hidup adalah soal pilihan.

 

Sumber foto: https://www.pinterest.com/pin/550142910703164146/

 

Komentar

Tulis Komentar