Kisah Eks Napiter: Manusia Harus Bermanfaat Bagi Sesamanya

Other

by Eka Setiawan

“Sesama manusia itu harus saling bermuamalah. Tak peduli latar belakang agamanya apa. Mau Muslim atau non Muslim,”

Itu dikatakan salah seorang eks narapidana kasus terorisme (napiter), sebut saja Ferdinand,46, asal Jawa Tengah, ketika ditemui ruangobrol.id awal pekan ini.

Bapak dua anak ini sempat tersandung kasus pada 2006, dakwaannya adalah menyembunyikan gembong teroris Noordin M. Top. Nama Noordin ini kondang paska kejadian Bom Bali I pada Oktober 2002 silam.

Noordin menjadi buruan kepolisian bersama satu nama lain yakni Dr. Azhari, yang disebut-sebut sebagai gembong serangkaian aksi teror di Indonesia, khususnya paska Bom Bali I hingga jelang tahun 2010.

Ferdinand ditangkap petugas Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri. Dia ditahan mulai tahun 2006 hingga 2011, terinci 1 tahun di Polda Jawa Tengah, 2,5tahun di Lapas Kelas I Semarang alias Lapas Kedungpane dan sisanya dihabiskan di Lapas Permisan, Nusakambangan.

Dia adalah pria lulusan STM di salah satu kota di Jawa Tengah.

“Saya biasa saja bergaul, dengan siapapun bergaul, tidak eksklusif sama sekali, biasa saja,” kata Ferdinand.

Pada 2000-an, selepas lulus STM, Ferdinand sempat bekerja jadi karyawan membuat berbagai macam kerajinan khusus kaca, mulai kaca gelas art dan kaca desain blasting. Selain itu, sempat juga bekerja di Jakarta di sebuah perusahaan yang memproduksi kabel.

Masa mudanya banyak dihabiskan dengan bekerja. Ferdinand kemudian menikah dan memiliki 2 orang anak.

Di sela-sela kesibukannya bekerja, Ferdinand mengaku sedikit demi sedikit mulai mengikuti berbagai macam pengajian. Tempatnya berpindah-pindah.

Dari situ, Ferdinand mulai mengenal beberapa orang lain. Walaupun berpindah-pindah tempat, tapi rata-rata, dikatakan Ferdinand, orang-orang itu saja yang ikut pengajian. Yang paling menonjol isi pengajian itu, ditanamkan dengan kuat kebencian terhadap Barat, khususnya Amerika Serikat, yang disebut sebagai orang kafir.

Dikatakan, mereka itu adalah musuh yang harus diperangi.

“Dalam sanubari saya, sebenarnya menolak. Karena saya yakin, sanubari semua manusia pasti bisa menilai, benar atau salah,” lanjutnya.

Namun demikian, Ferdinand mengaku tidak bisa berbuat banyak.  Dia tetap ikut saja pengajian ke sana ke mari, ada rasa tidak enak kepada teman-temannya kalau tidak bergabung. Dia tidak berani mengungkapkan secara frontal ketidaksepakatannya dengan apa yang disampaikan dalam forum itu.

“Bahkan saya tidak tahu, apa nama kelompok (jaringan) saya. Ikut saja,” sambungnya.

Lama-lama bergaul, memang sedikit banyak mempengaruhi pola pikirnya. Teman-teman sealiran itu yang diutamakan. Termasuk, apa yang disampaikan pimpinan pengajian itu adalah menjadi semacam perintah yang tidak boleh dilanggar. Pokoknya, harus ikut apa kata pimpinan.

Sekali lagi, Ferdinand tak kuasa menolak.

Hingga akhirnya, dia mau saja ketika diminta tolong untuk ikut menyediakan tempat menginap Noordin M Top yang saat itu statusnya buronan paling dicari oleh aparat keamanan.

Dia sendiri tidak pernah berhubungan langsung dengan Noordin itu. Dia cuma tahu ada kelompok inti yang melingkari Noordin. Dia dan teman-temannya menyebut kelompok inti itu adalah rojulain. Artinya kelompok dua laki-laki; yang ditujukan kepada: Noordin M Top dan Dr. Azhari.

“Saya akhirnya ditangkap dan dipenjara. Saya mulai merenung atas tindakan saya. Saat dipenjara di Polda (Jateng), Kedungpane sampai di Permisan Nusakambangan. Tapi perenungan yang di Permisan itu yang paling mendalam,” bebernya.

Saat di Permisan itu, kata Ferdinand, adalah masa-masa jelang akhir hukuman penjaranya. Dia harus ambil sikap, setelah bebas nanti jalan apa yang akan ditempuh. Apakah tetap bersama kelompok pengajiannya yang akhirnya menyebabkan dia dipenjara atau memilih jalan lain? Jalan yang sesuai dengan sanubari. Jalan yang sesuai dengan kata hatinya.

Jalan Damai

Akhirnya tekad kuat Ferdinand mengerucut kepada kata hati. Dia tahu betul, hidup itu haruslah berdamai, berbagai manfaat sesama manusia. Tidak terkecualikan. Tanpa harus melihat, apakah seagama atau tidak.

Meski tekad kuat itu sudah diambil, Ferdinand masih bingung nanti kemana akan pergi. Dia juga butuh teman untuk setidaknya berbagi unek-unek, termasuk cara pandang baru di jalan damai tersebut.

Waktu berlalu, hingga akhirnya Ferdinand bertemu dengan sesorang yang juga pernah tersangkut kasus terorisme. Orang itu juga sudah mengambil jalan damai, memutuskan meninggalkan masa lalunya yang sempat membuatnya tergelincir dalam kasus terorisme.

“Wah ini pas, cocok (dengan sanubari saya). Saya memang perhatikan dulu,” lanjutnya.

Setelah bebas, selain sering bergaul dengan ‘orang baru’ itu, Ferdinand tentu kembali ke anak istrinya. Dia menyesali perbuatannya.

Keluarga juga mau menerima kembali. Ini yang jadi penguat Ferdinand untuk bangkit. Percaya diri untuk melanjutkan hidup dengan jalan baru, termasuk sedikit demi sedikit memulihkan ekonominya.

Ferdinand berusaha keras berusaha, demi nafkah keluarga. Berbekal keahliannya yang dulu didapat saat bekerja jadi karyawan kerajinan kaca, Ferdinand mulai membuka usaha sendiri.

Pun termasuk bersama dengan beberapa eks narapidana terorisme, Ferdinand bergaul. Tentunya, selalu memilih apakah cocok dengan kata hatinya atau tidak.

Dia juga bergaul dengan orang-orang lain, salah satunya untuk mencari jalan mengembangkan usahanya.

Sekali lagi, tak peduli latar belakang agamanya apa. Langkah itu juga dikatakan Ferdinand sebagai semacam batu uji, apakah orang lain meski tidak seagama, bisa menerima atau tidak.

“Saya akhirnya bisa buktikan, ketika kita tinggal di suatu daerah manapun, yang orangnya beraneka ragam, dari Timur ataupun Barat, dengan orang luarpun, ketika kita tidak tunjukkan suatu kebencian, mereka itu welcome, kuncinya saling komunikasi, saling sinergi, saling berikan manfaat apapun bentuknya” bebernya.

Hari ini, usaha Ferdinand terus berkembang. Dia yang dulu karyawan, kini bisa mempekerjakan 6 teman-temannya. Membantu ketika ada pesanan dengan jumlah yang besar. Ada beberapa pihak yang membantu, baik perorangan maupun termasuk dari Kementerian Sosial Republik Indonesia.

“Yang saya pekerjakan teman-teman saya, dari berbagai latar belakang. Bukan eks (napiter). Titik balik yang mendasar, ketika kita tengok ke belakang kita, manusia itu harus bermanfaat bagi sesamanya, seluruh manusia di bumi ini,” tutupnya.

FOTO DOK PRIBADI

Salah satu karya kerajinan yang dibuat Ferdinand.

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Tulis Komentar