“Kalau dokter sakit siapa yang ngobatin?” sebuah pertanyaan yang keluar dari mulut seorang bocah berumur 5 tahun di Rumah Sakit.
Sang ibu menjawab, “Dokter yang lain”.
Si anak nampaknya tak puas dengan jawaban sang Ibu, “Dokter kok sakit ma, kan dokter harusnya yang ngobatin, gak boleh sakit!” Kata si anak lagi.
“Dokter kan manusia juga nak, jadi bisa sakit.” Jawab si Ibu.
Percakapan itu singkat namun cukup filosofis. Dokter tak boleh sakit, jika sakit disebut “lemah, gimana mau sembuhin pasien dianya aja sakit.” Contoh lain, polisi tak boleh melanggar, “gimana mau negakin peraturan, kalau polisinya melanggar”. Guru tak boleh salah, “gimana mau mengajar yang benar kalau sering salah”. Mungkin banyak lagi contoh lainnya. Profesi apapun itu dituntut harus sempurna sampai lupa bahwa mereka juga manusia bisa khilaf, bisa salah. Pernyataan anak kecil ini memang tak perlu diseriusi, selayaknya dewasa yang sering menuntut profesi yang sempurna. Mereka lupa bahwa kesempurnaan hanya milik Allah!
Sering kali sebagai penikmat maka seakan kita boleh menuntut. Bahkan memberi penilaian, itu manusia apa latihan nulis sambung?
Manusia tak lagi ada di Bumi sudah terbang hanya karena menjadi ‘customer’, bahkan ada di Langit ketika jadi netizen. Jempol akan bermain sebebasnya hanya untuk mengomentari yang bukan urusannya dengan alasan “peduli” dan diawali kata “viralkan!”. Namun kemudian ketika posisi itu dibalik, ia meminta mohon untuk dipahami, dimaafkan, diberi kesempatan untuk berubah. Karma is real, surtiiiii ! Hahahaha
Sifat kita yang melangit akan menjatuhkan kita kembali ke Bumi karena memang manusia sepatutnya ada di Bumi.