Beberapa bulan terakhir ini udara panas dan kering selalu menyertaiku ketika bergerak menyusuri daratan di pulau Jawa. Beberapa hutan ada yang kemudian terbakar karena gesekan antar dedaunan dan ranting kering yang berserakan di tanah. Kemarau kali ini memang sangat kering, membuat suasana terasa panas yang tidak jarang mempengaruhi mood dan emosi banyak orang.
Ketika manusia mengalami masa-masa sulit seperti kemarau yang berkepanjangan seperti saat ini, atau ketika dilanda bencana alam, mereka sedang diuji sejauh mana mereka bisa bekerjasama. Mereka diuji bagaimana akhlak mereka ketika sedang kesulitan. Mereka duji sejauh mana mereka bisa menekan egonya di tengah kesulitan demi kepentingan bersama.
Manusia adalah makhluk sosial yang kehidupannya selalu berhubungan dengan orang lain. Tetapi di sisi lain ia juga memiliki sifat egois yang bisa menjadi keburukan atau kebaikan baginya tergantung dimana ia menerapkan sifat egois itu.
Aku sering melihat orang yang saling serobot di jalan raya yang sedang macet yang justru akhirnya membuat semakin macet. Atau sering juga kutemui di berbagai tempat yang lain ada yang suka membuang sampah sembarangan, merokok di tempat yang dilarang merokok, mengendarai motor dengan knalpot modifikasi yang bising, parkir kendaraan di tempat yang salah, dll. Ini adalah contoh egois yang buruk, karena mengabaikan keselamatan dan kenyamanan orang lain demi kenyamanan dan kesenangan diri sendiri. Semua orang pasti akan ngomel-ngomel ketika bertemu yang seperti ini.
Ada juga egois yang buruk tapi masih bisa dimaklumi, seperti seseorang yang foto bareng teman-temannya tapi ketika melihat hasil foto dirinya jelek, ia meminta agar pengambilan foto diulang lagi. Dan giliran foto kawannya jelek dan minta diulang, dia keberatan. Kejadian di level seperti ini paling banyak terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Ada juga orang-orang yang kulihat egois dalam kebaikan, yaitu mereka tetap terus berbuat baik meskipun semua orang di sekitarnya berbuat yang sebaliknya. Mereka tetap membuang sampah pada tempatnya di saat banyak orang yang membuang sampah sembarangan. Mereka tetap sabar di tengah kemacetan meski banyak orang saling serobot. Mereka tetap selalu berusaha memudahkan urusan orang lain di saat banyak manusia yang senang menyusahkan orang lain.
Mereka tidak peduli jika kebaikannya dibalas dengan pengabaian, tidak peduli jika kebaikannya dibalas dengan ejekan/ sindiran, tidak peduli jika kebaikannya dibalas dengan penghinaan, tidak peduli jika kebaikannya dibalas dengan kebencian. Mereka akan tetap dan terus berbuat baik hingga akhir hayatnya.
Mereka bisa melakukannya sebab alasan mereka melakukan kebaikan itu telah teruji, dimurnikan dan dibersihkan dari segala niat yang tidak baik atau tidak tulus. Sehingga mereka itu pada dasarnya berbuat baik dengan tujuan untuk kebaikan diri sendiri, yaitu semata-mata hanya mengharap balasan dari Tuhannya.
Jadi, egois itu bisa menjadi tercela dan bisa menjadi terpuji, tergantung bagaimana seseorang itu menempatkan egoisnya. Jika egois itu ditempatkan dalam hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya maka itu akan menjadi terpuji, tetapi jika ditempatkan pada hubungan antar sesama manusia maka ia kan menjadi tercela. Betul nggak ?
Eh, kok tiba-tiba aku jadi kayak seorang pakar kejiwaan ya ? Haha, entahlah… aku kan sering melewati orang yang sedang membaca buku, orang yang sedang di majlis ilmu, orang yang sedang belajar, orang yang sedang kuliah, dll. Jadinya ya seperti ini, kadang-kadang keluar cerita yang merupakan cuplikan-cuplikan pengetahuan dari yang kutemui selama ini.