Karena seringnya saya melihat begitu banyak orang-orang yang besuk para napi teroris ke penjara dan melihat bagaimana para ustadz yang di penjara itu sangat dimuliakan dan memiliki banyak fans, saya jadi terpikir untuk meminta bantuannya mencarikan calon istri. Pada waktu itu saya merasa saya sudah siap untuk menikah. Para ustadz itu pasti punya banyak channel atau link untuk mencarikan calon istri. Begitu pikir saya.
Ternyata perkiraan saya benar. Sewaktu saya utarakan maksud dan keinginan saya itu, salah satu ustadz langsung menanggapi dengan antusias dan berjanji akan membantu. Sejak saat itu saya semakin sering besuk, sebulan bisa dua kali sekedar untuk menanyakan perkembangan proses itu. Biasalah, anak muda yang ngebet pengin nikah kan cenderung nggak sabar. Haha !
Akhirnya setelah beberapa kali besuk untuk mengetahui perkembangannya, saya bertemu dengan orang yang dikenalkan oleh ustadz itu yang mempunyai akses langsung ke keluarga si akhwat yang katanya juga siap menikah. Pada pertemuan pertama itu saya bertukar biodata dan foto. Dan betapa senangnya ketika seminggu setelahnya langsung diajak untuk nadhor dengan si akhwat.
Calon istri saya pada waktu itu adalah seorang aktivis PKS dan termasuk pihak yang meragukan bahwa bom Bali adalah hasil karya Amrozy dkk. Dan ia tahu kalau saya adalah murid dari salah satu ustadz di penjara yang terlibat kasus membantu pelarian Pak Ale ( Ali Imron). Meskipun begitu dia tetap menerima lamaran saya. Dan akhirnya dua bulan setelah nadhor itu, atau tepatnya di bulan April 2005 kami kemudian menikah dengan acara walimahan yang sederhana.
Istri saya sangat faham kalau saya adalah orang JI dan mulai percaya bahwa pelaku bom Bali benar-benar para kader JI. Tetapi sampai saat terakhir sebelum saya tertangkap oleh kepolisian, dia tetap berpegang teguh pada pendapatnya bahwa jalan memperjuangkan Islam di Indonesia untuk saat ini bukanlah melalui aksi perlawanan dengan kekerasan.
Jadi, meskipun akhirnya dia tahu saya terlibat membantu mengirimkan orang dan mencarikan dana untuk kawan di Poso, dia bisa memakluminya meski sebenarnya tidak setuju. Ya mau bagaimana lagi, dia hanya seorang istri. Sehingga ketika tahu saya ditangkap, ada sedikit perasaan lega karena akhirnya saya berhenti meskipun rasa khawatir dan was-was menatap masa depan tanpa saya untuk beberapa lama lebih dominan.
Dan setelah saya bebas dari penjara, kami merasa sangat lega dan berbahagia karena akhirnya kami sepakat bahwa memperjuagkan Islam di Indonesia untuk saat ini bukanlah dengan jalan melakukan aksi perlawanan. Yah…ternyata perlu masuk penjara dulu baru bisa sepaham dengan istri…haha. Benar-benar sebuah pengorbanan yang sangat besar dari istri saya.
Baiklah, kita kembali ke bahasan dinamika pasca bom Bali. Kapan-kapan saya akan ceritakan di bagian lain tentang betapa besarnya pengorbanan istri saya.
Setelah menikah tentu saja saya kemudian sering ke rumah mertua meski sehari-hari kami berdua hidup di kota lain. Nah, berdasarkan info dari ustadz yang di dalam penjara bahwasanya di kota asal istri saya, ada seorang ustadz yang merupakan seniornya yang tinggal di kota itu. Saya kemudian mencarinya dan tak sulit untuk menemukannya. Dan ustadz senior itulah yang di kemudian hari menjadi “Sang Mentor” bagi saya.
Setelah menikah saya masih terus berada di kota yang sama sejak saya masuk SMK, namun kali ini saya keluar dari pekerjaan kantoran dan mulai merintis bisnis bersama istri saya. Baru saja kami mulai bisnis kami, di bulan Januari 2006 kami diuji dengan kelahiran anak pertama kami yang masih tergolong prematur. Kondisinya secara fisik sebenarnya sudah cukup ukuran, tetapi kesadaran otaknya yang belum sempurna. Jadi dia tidak mau menyusu, maunya tidur saja. Akhirnya harus menjalani perawatan dan terapi khusus di rumah sakit selama 3 minggu.
Karena modal kerja saya habis untuk biaya perawatan anak kami dan saya pun tidak bekerja karenanya, kami terpaksa pulang ke rumah orang tua saya di kampung dan sempat bekerja serabutan sebelum akhirnya bekerja di pengetikan komputer sekaligus melayani fotokopi. Saya hidup tenang di kampung dengan kondisi yang pas-pasan sampai datang tawaran dari salah satu ustadz yang beberapa kali ketemu saya sewaktu besuk di penjara untuk bekerja menjaga salah satu tempat usahanya.
(Bersambung, In sya Allah)