Pada saat itu rasa bangga dan penasaran saya terhadap para pelaku bom Bali lebih dominan dari kegusaran saya karena korbannya justru banyak orang Indonesia. Terlebih media secara umum lebih banyak memberitakan perkembangan kasus daripada perkembangan korban. Entah hanya saya saja yang merasa demikian atau memang kebetulan saya yang hanya membaca berita-berita seputar perkembangan kasus saja.
Hal ini ditambah dengan pembicaraan-pembicaraan saya dengan teman-teman sesama kader atau simpatisan JI ketika bertemu yang selalu membahas kasus bom Bali, di mana seringnya kami memuji-muji para pelaku yang berani dan mampu melakukan aksi yang spektakuler seperti itu. Dan memang saya jadi sering menemui mereka dibanding sebelum saya tahu bahwa saya adalah kader JI. Biasanya saya menemui mereka di rumahnya, di tempat kerjanya atau di acara pengajian umum di masjid. Semua ini karena adanya perasaan sama-sama menjadi simpatisan atau kader JI yang ‘hebat’ itu dan rasa ingin tahu bagaimana kehidupan mereka sehari-hari di tengah fenomena JI yang menjadi sorotan dunia.
Pada waktu itu jatuhnya korban yang seakan-akan ‘terlupakan’ barangkali disebabkan karena kami selalu merasa bahwa umat Islam selama ini jauh lebih menderita dari para korban itu. Kami jadi memandang rendah 3000 orang lebih korban serangan WTC jika mengingat puluhan tahun saudara-saudara kami menderita di Palestina, ratusan ribu anak-anak Iraq dan Afghanistan yang mati karena kelaparan dan peyakit akibat embargo Amerika dan sekutunya.
Sejak saya di pesantren, kami telah diajarkan tentang sejarah ummat Islam baik ketika di masa kejayaan di masa lau dan masa kemunduran di era sekarang. Hal itu bertujuan untuk melecut semangat juang kami dalam mengembalikan kejayaan Islam di muka bumi. Lalu tiba-tiba saat terjadi aksi penyerangan ke Amerika (dan sekutunya), kondisi ummat yang menderita sejak awal abad 20 dijadikan ‘dalil’ membenarkan serangan itu dan agar memaklumi jatuhnya korban. Ini seperti analogi orang yang dirampok lalu melawan hingga melukai si perampok, masak yang dirampok yang disalahkan ? (Belakangan saya menyadari bahwa analogi ini kurang tepat karena kami menyerang musuh yang sedang berdamai)
Dan hal ini masih kuat terpatri di pemikiran saya sampai saya menyaksikan dan mengalami kesusahan hidup di penjara. Saya merasakan bagaimana rasanya mendengar keluhan istri tapi kita tak mampu berbuat apa-apa. Saya baru terpikir tentang bagaimana dengan para janda dan anak-anak yatim korban ‘amaliyah’ kami ? Mereka pasti pernah mengalami seperti yang saya alami.
Di situlah saya mulai berubah. Saya mulai meyakini tidak boleh memulai perang di tempat yang damai, kecuali musuh yang mulai menyerang dan semua umat Islam sepakat untuk melawan. Semua akan bisa memaklumi jika musuh mati ketika menyerang ummat Islam, bukan diserang ketika sedang berdamai. Saya bisa memahami bagaimana perasaan seorang ibu yang tiba-tiba harus kehilangan suaminya karena aksi kekerasan yang disangka tidak akan terjadi di tempat yang tenang dan damai, meskipun di kemudian hari orang ini bisa menerimanya dan menganggap itu seperti menjadi korban kecelakaan.
Maafkan kami wahai kaum muslimin… dan ampuni kami Yaa Rabb.