Bijak di Media Sosial

Other

by Eka Setiawan

 

Sekarang ini, ruang privat makin susah. Apalagi di era digital seperti ini. Kehidupan manusia, 24 jam sehari, seakan tak bisa luput dari media sosial di dunia maya. Berbagai plattform tersedia di sana. Mulai dari bisnis, cari jodoh hingga urusan pengajianpun semuanya serba digital.

Manusia mengaksesnya di mana saja; sembari nunggu antrean tiket kereta api, di dalam KRL, sambil makan, nunggu jemputan, sampai saat mau tiduran.

Istilahnya, mulai dari mata melek bangun tidur hingga mau tidur lagi, media sosial berada di lingkaran kita. Bahkan sedang tidurpun, media sosial tetap berjalan.

Mengutip laman Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pada siaran Pers No.53/HM/KOMINFO/02/2018 tanggal 19 Februari 2018, jumlah pengguna internet di Indonesia tahun 2017 mencapai 143,26 juta jiwa atau setara 54,6 persen jumlah penduduk Indonesia. Jumlah itu menunjukkan kenaikan 10,56 juta jiwa pada tahun 2016.

Data teranyar, pada Januari 2018 total jumlah penduduk Indonesia sebesar 265,4 juta orang, sekira 130 juta di antaranya aktif bermedia sosial. Mulai dari Instagram, Twitter, Facebook dan lainnya. Artinya sekira 48 persen penduduk Indonesia telah mencicipi media sosial. Termasuk 92 persennya total pengguna media sosial, yakni sekira 120 juta, datang dari perangkat mobile.

Rata-rata masyarakat Indonesia pengguna internet itu tiap harinya mengakses sekira 8 jam 51 menit, dan lama untuk penggunaan media sosial rata-rata 3 jam 23 menit perharinya (Okezone, Selasa 13 Maret 2018, Ini Jumlah Total Pengguna Media Sosial di Indonesia).

Tapi jumlah yang banyak itu ternyata tak selamanya menyenangkan. Perkembangan digital juga tak selamanya menyenangkan. Ini jika penggunanya tak bijak mengoperasikan.

Sebab, media sosial malah kerap digunakan sebagai sarana menyebar provokasi, ujaran kebencian, fitnah, saling menghina, hoax ataupun kegiatan kontraproduktif lainnya.

Bahkan terjadi kasus-kasus pengguna internet juga akhirnya berhadapan dengan hukum karena aktivitasnya di dunia maya ini.

Sejak lahirnya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang diatur dalam UU No.11 Tahun 2008, sampai saat ini sudah ada 25 kasus menjerat warganet dan pengguna layanan digital di Indonesia. (VIVA.co.id Selasa 8 Agustus 2017, Sudah Ada 205 Korban Terjerat UU ITE).

Menurut data Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Indonesia, korban jeratan UU ITE beragam profesi. Mulai dari warga, dosen, pengusaha, pegawai negeri, siswa, mahasiswa, aktivis, anggota DPR, wartawan hingga aktris.

Pendiri Rumah Pancasila dan Klinik Hukum Semarang, Yosep Parera, menyebut media sosial adalah ruang publik bukan privat.

“Makanya kalau yang namanya ruang publik maka di situ berlaku semua aturan perundang – undangan dan etika bagaimana kita berkomunikasi satu dengan yang lain menyampaikan pendapat, menyampaikan ungkapan atau unek – unek itu dibatasi dengan undang – undang,” kata Yosep yang juga Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Semarang ini, Minggu (2/9/2018).

Soal UU ITE ini juga ancamannya tidak main-main. Misalnya kalau pencemaran nama baik kepada orang perorangan atau individu, diatur Pasa 27 ayat (3) ancaman pidananya 4 tahun. Ini merupakan delik aduan, karena berdasarkan Pasal 310 dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Maka orang yang merasa dirinya cemarkan nama baiknya melalui media dia dapat melakukan laporan kepada kepolisian.

“Begitu juga kalau ada penyampaian – penyampaian yang tidak pas atau tidak tepat mengenai suatu golongan, agama, ras, suku bangsa, maka itu menyentuh dari pada pelanggaran Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) karena ini ruang publik di media sosial,” lanjutnya.

Hal itu diatur di dalam Pasal 28 ayat (2) Undang – Undang ITE ancaman pidannya 6 tahun bisa ditahan. Ini bukan delik aduan tetapi delik biasa sehingga polisi dapat langsung mengambil tindakan terhadap hal – hal ini apabila diketahui terjadi di media sosial.

Sebab itulah, alangkah indahnya jika media sosial tidak digunakan untuk hal-hal yang menjurus tindak pidana tetapi digunakan untuk membangun rumah Indonesia yang baik.

“Jadikanlah ruang media sosial sebagai tempat kita hadir secara bermakna di Indonesia,” tutupnya.

FOTO EKA SETIAWAN

 

Komentar

Tulis Komentar