Asyiknya Memancing di Laut

Other

by Eka Setiawan

Kalau memancing dibagi menjadi beraneka strata, mungkin memancing di laut menempati urutan pertama. Di susul, memancing di tambak kemudian memancing di kolam.


Ini soal solidaritas, kekompakan, keasyikan, hingga ajang mendekatkan diri pada Yang Maha Esa. Loh kok bisa?


Hari Sabtu (1/9/2018) lalu, kami, terdiri atas; saya, Nadjib, Danil, Trisno, Mas Wisnu dan Mas Ketut, pergi memancing di laut. Bukan di pinggiran loh, tapi betul-betul di laut. Di tengah. Di mana daratan sudah tak terlihat, kanan kirinya, sekeliling pandangan mata hanya air.


Kami yang berangkat itu disatukan oleh hobi: melempar kail. Semuanya tinggal di Semarang, walaupun asalnya beda-beda. Ada yang dari Tegal, Brebes, Klaten, Padang ataupun warga Semarang sendiri.


Singkat cerita, setelah berkomunikasi via WhatsApp (WA), Sabtu pagi-pagi betul, sesaat setelah azan Subuh berkumandang, kami berangkat. Berboncengan naik motor, kami menuju kawasan Pantai Marina Semarang.


Sampai di sana, seorang tukang perahu sudah menanti. Kami menyewa tentu saja lengkap dengan perahunya, untuk mengantar sampai rumpon.


Rumpon ini adalah rumah ikan, terbuat dari beberapa benda yang ditenggelamkan ke laut. Bisa bangkai kendaraan, anyaman bambu ataupun ban-ban bekas yang diikat dan ditenggelamkan di dasar laut. Ikan akan suka berkumpul di sana. Sebab itulah, rumpon adalah spot favorit pemancing.


Kapal kayu ukuran kecil yang kami naiki melaju ke tengah laut meninggalkan pantai. Perlahan, daratan mulai tak terlihat.


Di sini adrenalin mulai terpacu. Angin laut dan ombak cukup membuat kapal bergoyang. Seisi perahu terombang-ambing. Ada yang memilih tidur, ada pula yang wajahnya pucat pasi plus pusing karena mabuk laut.


Kami membawa umpan udang hidup. Si tukang perahu dengan ilmu titen mengantarkan kami ke spot mancing.


“Ini sudah rumpon, bisa kanan-kiri,” kata si tukang perahu setelah menurunkan jangkar kapal.


Kanan kiri itu maksudnya sisi kapal, jadi rumponnya cukup besar. Saya sendiri cukup heran, kok ya tahu aja si tukang perahu tempat rumpon. Padahal laut kan ya bentuknya begitu, semuanya sama, air semua. Tidak ada pendanda di mana rumpon.


Tapi sudahlah, tidak usah dibahas. Nyatanya betul, ketika kail diturunkan, dengan cepat umpan disambar. Dan strike berkali-kali. Ikan berbagai jenis dan ukuran dengan cepat naik ke kapal dan memenuhi ember yang sudah disiapkan sebagai wadah.


Kami memancing dengan gembira. Tapi ada satu yang mengganjal. Salah satu kawan yang ikut, ternyata mabuk laut. Sepanjang kami memancing, dia hanya terdiam sesekali tertidur sembari memegang apa saja di kapal agar tak makin oleng kepalanya.


“Aku mabuk laut,” kata kawan itu.


Di situ saya melihat solidaritas antarpemancing timbul. Ada yang sudah menyiapkan bekal, memberi kesempatan kawan itu untuk segera makan. Yang membawa obat, langsung diberikan. Ada yang mendekati sembari memijit punggung dan leher, plus memberikan air minum.


Kawan yang mabuk laut itu bisa tersenyum. Maklum, di kanan kiri hanya air, daratan tak terlihat, satu-satunya yang bisa membuat tenang adalah pertolongan kawan. Perhatian dari sesama manusia.


Setelah kawan itu agak tenang dan tertidur, kail kembali dilempar. Ketika sambaran ikan sudah jarang, si tukang perahu bergegas memberi komando. Kail diangkat dan segera pindah rumpon.


Hari itu, kami berpindah sampai 4 kali spot. Dan hasilnya: ikan berbagai jenis dan ukuran bisa didapat. Mulai dari ikan kakap merah, ikan kerapu, ikan kerang-kerong alias kakap tompel, ikan kapasan, kuniran hingga baronang.


Sensasi sambaran ikan di laut sangat menantang. Meski ukurannya tak terlalu besar, tapi tarikannya kuat. Inilah jadi salah satu pembeda dengan ikan tambak ataupun kolam.


Tengah hari, umpan kami ternyata sudah habis. Udang hidup sebanyak 1kg yang kami bawa sudah tak tersisa. Si tukang perahu bilang kalau udang sedang susah, sehingga cukup sulit membawa umpan dalam jumlah banyak.


“Bisa bawa umpan (udang) 1kg saja sudah bagus sekarang, sedang susah,” kata si tukang perahu.


Akhirnya, kapalpun kembali. Oiya! Di saat-saat terakhir memancing hari itu, kawan kami yang awalnya mabuk laut, tetiba pulih. Wajahnya tak lagi pucat, jadi ikut memancing bahkan bisa angkat ikan ukuran cukup besar.


Jangkar diangkat, kapal kembali menuju daratan. Ombak cukup membuat kami kembali bergoyang-goyang.  


Malamnya, ikan-ikan itu jadi lauk kami makan malam bersama. Ada yang digoreng kering, ada yang bumbu kuah kuning. Ditambah nasi putih dan sambal, wah lezat sekali menikmati karunia sang Pencipta.


Alhamdulillah, masih diberi kenikmatan menyantap ikan segar bersama kawan.     


FOTO EKA SETIAWAN


Ikan-ikan hasil memancing


 

Komentar

Tulis Komentar