“
“12 Agustus 2017, itulah hari kemerdekaan kita…”
Waduuh, ganti-ganti lirik lagu nasional itu boleh nggak sih? Hehehe.
Sepintas saya ingat lagu ciptaan H. Mutahar berjudul Hari Merdeka yang dirilis tahun 1946 silam.
Bagi saya, 12 Agustus 2017 adalah momen yang sangat spesial. Saya merasakan merdeka. Rasanya campur aduk; senang, sedih dan takut semuanya berkumpul jadi satu di dalam dada.
Semua itu membuncah layak es merdeka yang dijual abang es teler. Kaki penuh bocel dari kutu air menginjak Bandara Internasional Soekarno – Hatta.
Kaki yang dilapisi kaus kaki dan sepatu gunung itu sebelumnya meninggalkan lantai bandara yang sama pada Agustus 2015 silam.
Saat itu, keputusan meninggalkan Indonesia dilandasi keinginan saya mendapatkan sebuah kehidupan baru yang hakiki di negeri sana, seberang samudra. Harapan besar hidup di negeri yang penuh berkah seperti pada masa kejayaan khilafah Nabi dan khalifah.
Terbayang harapan besar akan hidup dalam keadilan, kedamaian dan kemakmuran. Janji yang tak ada duanya, surga dunia dan akhirat didapat langsung.
Tapi siapa sangka? Janji-janji di negeri sana hanya bualan. Tiap hari dipenuhi lautan pasir dan dentuman bom. Janji manis di sebuah wonderland yang mana anyone can be anything tak terbukti. Keberangkatan saya dulu karena cinta buta, membawa sang pujangga menuju sahara surga.
Yap! Turns out, a real life is super complicated than propaganda on media. Dalil-dalil kitab suci yang terpampang nyata di media, hanya sebatas kertas brosur yang dijadikan bungkus gorengan atau bahkan alas kaki kalau sedang hujan.
Darah,tangisan,air mata,teriakan amat sangat mudah dan murah keluar. Seperti inikah Nabi mengajarkan??
Hingga akhirnya, kami membutuhkan beberapa bambu runcing lagi untuk bisa mendapatkan sebuah kemerdekaan kembali dengan penuh perjuangan dan pengorbanan harta, jiwa, dan pikiran. Karena apabila bambu runcingnya tidak ditusuk ke pihak yang tepat, maka diri sendiri yang akan terkena bambu runcing lawan. Kami membutuhkan waktu 1 tahun lebih untuk bisa merdeka secara wilayah.
Karena, hati dan pikiran masih digentayangi oleh teriakan haters dari kedua belah pihak.
Kala itu, selalu muncul dalam pikiran dan hati bahwa mungkin tidak akan adanya kemerdekaan lagi. Godaan setan untuk menyerah dan putus asa terus mengalir.
Sampai akhirnya, teringat akan firman-Nya dan tangisan dalam doa untuk merdeka yang merupakan karunia-Nya, dapat mengalahkan bisikan-bisikan tersembunyi.
Allah SWT berfirman:
“Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir.”
(QS. Yusuf 12: Ayat 87)
Beginilah rasanya, senang ketika melihat lagi bumi Indonesia yang amat kaya akan sumber daya alam, budaya, bahasa, dan etnis. Gembira melihat indahnya Bhinneka Tunggal Ika dengan mata kepala sendiri.
Kini saatnya untuk saling menyebarkan kemerdekaan yang hakiki. Merdeka dari segala penjajah dan kezaliman di negeri sendiri. Kedamaian lahir batin yang harus bisa dirasakan bagi tiap warga negara.
Kemerdekaan yang membukakan mata hati dan pikiran. Kemerdekaan yang memberikan kebebasan untuk berpendapat, memilih dan meyakini. Sebuah kemerdekaan khusus setelah kembali ke pangkuan ibu pertiwi, dengan membantu negri untuk menangkal para penjajah berkedok agama.
Tuhan…puja dan puji syukur untuk-Mu, yang menyampaikan jiwa raga ini ke pangkuan ibu pertiwi.