Noda pada Bhinneka Tunggal Ika

Other

by Kharis Hadirin

Indonesia adalah negara maritim yang telah merdeka sejak 73 tahun yang lalu. Para pendiri bangsa ini kemudian merumuskan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar falsafah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, budaya, dan agama.

Oleh karenanya, sebagai sebuah negara besar, tentu tidaklah mudah merawat tenun kebangsaan di tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia. Benturan antar ras, suku dan budaya, acap kali terjadi dan melanda negeri ini. Bahkan tidak sedikit pula jatuh korban yang juga saudara sendiri. Melalui sikap pendewasaan diri, saling menerima dan memahani, serta menjaga toleransi antar sesama, perlahan mampu memupuk kembali harmoni yang pernah terkoyak karena ego semata.

Ironisnya, kerukunan yang telah terjalin sekian lama, justru dirusak kembali oleh segelintir orang melalui aksi-aksi terorisme. Tentu pikiran kita akan tertuju pada kelompok ISIS, dimana sepak terjangnya cukup membuat kita getir menatap nasib bangsa ini.

Lalu, apa sih yang menjadikan mereka begitu tega menghancurkan atap rumah sendiri?

Meminjam teori Sigmund Freud (2012) tentang Es - Das Ich - Das Ueber Ich atau lebih dikenal dengan Id - Ego - Super Ego yang ia gunakan dalam menjelaskan struktur kepribadian manusia.

Dalam prinsip Es, dijelaskan bagaimana komponen kepribadian manusia berfungsi untuk meraih kenikmatan melalui primary process atau proses primer. Dalam konteks kelompok ini, mereka membayangkan atau menggambarkan suatu kenikmatan dalam fantasi agar dapat mereduksi dan mengurangi tegangan atau kecemasan yang dirasakan dalam sebuah struktur sosial di tengah masyarakat yang dianggap telah rusak dan menyimpang dalam ajaran Islam. Fantasi tersebut tentu saja kenikmatan hidup di bawah payung Khilafah seperti yang gencar dikampanyekan ISIS di Suriah.

Imajinasi tentang Khilafah atau sebuah negara yang menganut hukum Islam inilah yang kemudian mendorong orang-orang untuk hijrah dan bergabung dengan ISIS. Sebab dalam pandangan mereka, ISIS dianggap mampu memenuhi dahaga orang-orang yang selama ini mendambakan negeri Khilafah. Karenanya, mereka akan berupaya untuk bisa berhijrah ke Suriah.

Sementara bagi mereka yang terhalang untuk bisa berangkat ke Suriah, seperti halnya Dita Oeprirto, pelaku bom bunuh diri gereja di Surabaya beberapa waktu lalu dan kelompok ISIS lain di Indonesia, mereka akan memupuk kebencian terhadap pemerintah yang dianggap menghalangi keinginan mereka untuk hijrah ke Suriah.

Persamaan prinsip dan fantasi tentang Khilafah versi ISIS inilah yang kemudian dalam teori Frued disebut sebagai Das Ich, yakni motif yang mendorong orang-orang seperti mereka untuk membangun sebuah kontruksi sosial di tengah masyarakat yang majemuk dengan membentuk organisasi bernama Jama’ah Anshorud Daulah (JAD).

Pasca ultimatum pemerintah Indonesia yang menyatakan JAD sebagai organisasi terlarang, memaksa mereka untuk bergerak dalam senyap. Kajian-kajian yang mulanya diadakan secara terbuka bagi masyarakat umum, termasuk beberapa wilayah di Jakarta yang sering dijadikan sebagai media transformasi ideologi ISIS, mulai banyak digelar secara tertutup dan terbatas.

Maka peran Das Ueber Ich dijelaskan oleh Freud sebagai prinsip idealistik (idealistic principle), dimana dalam kasus ini memungkinkan bagi kelompok JAD untuk tetap menjaga ruh ideologi yang dibangun oleh ISIS tentang Khilafah. Karenanya, persebaran ideologi yang awalnya dilakukan secara offline mulai bergeser ke media online.

Mereka kemudian memanfaatkan jejaring sosial media untuk mengumpulkan kembali serpihan kelompok yang tercecer pasca ultimatum pemerintah tersebut melalui grup-grup seperti Whatsapp, Telegram, dan Facebook yang bertahan hingga saat ini.

Dan pasca serangan bom di jantung ibu kota Jakarta awal 2016 lalu, memaksa kelompok ini untuk hibernasi dalam kondisi yang tak menentu. Bahkan pentolan mereka, Aman Abduurahman yang diagendakan bebas pada pertengahan Agustus 2017, pun terpaksa ditangkap kembali oleh pihak keamanan atas tuduhan sebagai inisiator penyerangan pos polisi di Thamrin, Jakarta Pusat pada Kamis, 14 Januari 2016 lalu. Penangkapan besar-besaran pun terpaksa dilakukan di sejumlah wilayah yang ditenggarai menjadi kantong atau basis pergerakan kelompok JAD/ISIS.

Sementara, kebencian terhadap aparatur negara yang menangkap anggota kelompok mereka seolah menjadi gumpalan kedengkian yang terus menumpuk dan dipendam di dalam hati. Pihak kepolisian pun yang selama ini menjadi aktor yang berperan menangkap anggota kelompoknya, seolah menjadi musuh utama yang harus diperangi.

Oleh karenanya, ketika kerusuhan di Mako Brimob terjadi pada Mei 2018 lalu dan tak berselang lama muncul seruan dari dalam penjara untuk melakukan perlawanan kepada aparat sebagai dari wujud jihad fie sabilillah. Segera, seruan tersebut mendapat respon dari kelompok JAD dari berbagai wilayah nusantara.

Kebencian yang selama ini terpupuk di dalam dada mereka, menguap menjadi energi yang menggerakkan mereka untuk melakukan berbagai aksi amaliyah (serangan teror) yang tidak hanya terkonsentrasi di Mako Brimob, namun menyebar ke berbagai daerah.

Dan serangan bom bunuh diri yang terjadi di 3 gereja maupun Mapolres Surabaya beberapa waktu lalu serta beberapa serangan lain yang menyasar aparat kepolisian adalah realisasi dari seruan tersebut. Termasuk dalam situasi dimana mereka menganggap bahwa jihad atau perang melawan pemerintah Indonesia dianggap fardhu ‘ain, yakni sebagai kewajiban, menjadi pemantik utama yang menggerakkan kelompok ini untuk melakukan aksi teror tanpa memandang usia dan status gender. Wallahu’alam...

 

Sumber foto: http://www.isigood.com/wawasan/sejarah-lahirnya-nama-indonesia-sebagai-kepulauan-nusantara/

 

Komentar

Tulis Komentar