Hidup Baik-Baik Saja dengan Tertawa

Other

by Eka Setiawan 1

 

Suatu malam ketika kami khusyuk memancing di salah satu tambak di Kota Semarang, tetiba terdengar suara kraaakkk byurrr. Spontan kami semua menengok ke sumber suara.  Di balik keremangan malam, terlihat samar seorang kawan kami nyungsep, kakinya yang satu kejebur tambak.

Sejurus kemudian: HA HA HA HA! Kami teman satu kos-kosan yang jumlahnya 5 orang, semuanya kencang sekali tertawa di tengah tambak. Bahkan salah satu kawan yang namanya Nadjib, tertawa sampai gulung koming sambil memegangi perutnya.

“Aduh tulung, uwis. HAHAHAHA. Tulung HAHAHAHA,” kata si Nadjib.

Dia tak tahan dengan kesialan yang baru menimpa temannya.

Aku ngguyu karena ngerti prosese ket awal sampai tibo kejegur tambak (aku tertawa karena tahu proses dari awal sampai jatuh terjebur tambak), HAHAHAHA,” Nadjib melanjutkan.

Kawan yang kejebur tambak tadi namanya Bayu, mahasiswa baru tapi nggak baru-baru amat di Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro (Undip) Semarang.  

Kami semua tertawa malam itu, tertawa lepas melihat kesialan yang menimpa kawan tadi. Sementara si Bayu, cuma bengong.

Lorone gak sepiro, tapi isine kuwi (sakitnya nggak seberapa, tapi malunya itu),” Bayu nylemong sendiri.

Ternyata itu juga membuat kami kembali tertawa lepas. HAHAHAHA!

Malam itu, Bayu yang baru ikut memancing memang agak beruntung. Meski lemparan kailnya masih sembarangan, kadang tepat sasaran kadang tidak, tapi malam itu berhasil strike lebih dari 4 ikan bandeng. Jumlah yang paling besar di antara kami, yang rata-rata cuma bisa angkat 1 – 2 ikan saja.

Dia bercerita kalau ini kali pertamanya memancing, sejak dulu kala pernah memancing ketika masih kecil. Malam itu, kami memancing di Tambak Wahid Jaya, lokasinya dekat dengan bandara baru Ahmad Yani Semarang. Di sana memang memancing bisa sampai malam. Sasarannya adalah ikan bandeng, yang dihargai Rp30ribu per kilonya.

Meski banyak nyamuk dan gelap, ditambah kondisi jembatan yang reyot, tapi memancing di situ terbilang favorit. Selain karena lokasinya yang sepi, juga karena tambaknya yang luas. Jadi mancing tambak serasa di laut.

Nah si Bayu ini, ketika strike berkali-kali, tingkahnya mulai ra enak. Ketika dapat ikan, bukannya langsung dimasukkan ke jaring tempat ikan, tapi ikan itu diputar-putarkan ke kami-kami ini yang bengong karena kail tak kunjung disambar. Memang guyon, tapi ngeselin, wkwkwk.

Ketika dia ditimpa kesialan kejebur tambak itulah, spontan kami semuanya tertawa.

Kanca sing tenanan ki yo ngene, sing ngguyu tenanan (yang betul-betul teman itu ya yang seperti ini),” timpal si Nadjib.

Mak tratap, dalam hati, bener juga apa yang diomongkan kawan Nadjib ini. Pertemanan musti dirayakan, meskipun ketika kawan sedang tertimpa kesialan. Dan memang betul, malam itu tidak ada yang tersinggung. Meski satu susah, satunya menertawakan, tidak terus mutung.

Kami melanjutkan mancing seperti biasa. Memang sesekali ada yang masih menahan tawa. Malam itu, rupanya cukup dingin. Suhu di Dieng saja sampai minus 1 derajat celcius.

Sama-sama menahan dingin di tengah tambak, masih sempat makan bareng-bareng bakso lengkap dengan mi kuning dan bihun yang kami bawa untuk bekal. Makanan itu kami bawa tanpa kuah, rencananya memang buat umpan mancing tapi tidak jadi. Makanan itu pemberian ibu kos yang siangnya menggelar slametan dan pengajian untuk anaknya yang ulang tahun.

Menertawakan kesialan, merawat pertemanan, saya jadi ingat dengan komik Pak Bei, yang terbit di Koran Suara Merdeka dari 1986 hingga 2004 silam. Isinya sebenarnya klise, seputaran kesialan, kebodohan saja.

Tapi ternyata itulah yang ditunggu-tunggu pembacanya. Kesialan, kebohodan bahkan kemiskinan adalah sumber kebahagiaan, sebab itulah pantas ditertawakan. Saya pernah membeli buku berisi komik Pak Bei itu ketika diadakan bazar di Gedung Wanita Semarang.

Saya membeli karena memang lebih dulu kepincut dengan komiknya yang lebih dulu hadir di koran. Salah satunya cerita tentang Pak Bei yang mendapat pinjaman motor dari kantor. Bukannya bersyukur, tapi malah mengeluh. Sebab, gajinya yang pas-pasan ternyata tidak mampu untuk rutin mengisi bensin motor kantor itu. Akhirnya Pak Bei lapor ke atasannya, mengeluhkan ihwal tersebut.

Atasannya merespon cepat, berjanji segera mengganti motor itu dengan kendaraan yang lebih irit. Pak Bei senang bukan kepalang. Ternyata sepeda motornya itu diganti atasannya dengan sepeda, agar lebih ngirit.

Hal seperti inilah, yang dialami Pak Bei, mungkin ada juga kesialan-kesialan lain serupa, yang ternyata membuat pembacanya tertawa.

Sekali lagi, memang betul. Hidup kalau tidak dijalani dengan selow, maka akan terus-terusan spaneng. Sudah susah, jadi tambah susah.

Jadi ingat juga dengan almarhum Mbah Surip, seniman yang mencuat namanya setelah lagu Tak Gendong pada 2009 booming. Kesederhanaan, kejujuran dan baik hatinya itu membuat semua orang senang. Selama masih bisa tertawa lepas, berarti hidup masih baik-baik saja.

I Love You FULL! HAHAHAHA!

 

 

SUMBER GAMBAR:  https://1.bp.blogspot.com/-YUWLSXOLXRU/V6IDITAjZUI/AAAAAAAAAKs/CpDZOk2JJAoXeptP2gS5BZpDFAcOgApxQCLcB/s1600/1214991545227_f.jpg

 

Komentar

Tulis Komentar