Susahnya Jadi Penyeberang Jalan

Other

by Eka Setiawan

 

Kalau kita menjadi penyeberang jalan di lampu bangjo ujung barat Jalan Prof. Sudharto Kota Semarang, tepatnya di gapura masuk Universitas Diponegoro (Undip), mungkin akan sering misuh.

Apalagi waktunya saat pagi hari di jam-jam masuk kerja atau sekolah, ataupun sore ketika waktu pulang. Penyebabnya, tidak lain tidak bukan adalah: pejalan kaki ketika menyeberang di sana sangatlah susah.

Penyebabnya, kalau saya petakan, ada dua. Pertama: kehadiran zebra cross yang kerap tak dihormati para pengendara. Kedua, lokasi zebra cross di sana juga cukup nyeleneh. Masa di tengah-tengahnya ada taman kecil yang tengah-tengahnya ada Patung Pangeran Diponegoro naik kuda.

Terus kalau orang mau nyeberang gimana coba? jalan lalu naik taman, turun, lalu baru bisa melanjutkan misi penyeberangan lagi? Saya yakin pembangunan patung di lokasi itu bukan keinginan Pangeran Diponegoro. Ataupun kalau si patung itu dikasih mukjizat bisa geser, dia akan geser menjauh, lari kuda. Merasa bersalah karena kehadirannya menghalangi orang lain menyeberang jalan.

Karena patung adalah benda mati, sudahlah kita enggak usah ngrasani. Di alam lain sana, saya yakin Pangeran Diponegoro juga pingin kalau patungnya dipindah posisinya demi kelancaran dan keselamatan berlalu lintas.

Yang lebih jadi soal di sini, adalah perilaku pengendara yang kerap seenaknya. Memang, kehadiran lampu bangjo dengan zebra cross ibarat sejoli. Di mana ada bangjo di situ ada zebra cross.

Fungsinya, kalau lampu bangjo lebih banyak. Kalau menyala merah, berarti tanda berhenti, kuning berkendara hati-hati, dan hijau silakan tancap gas.

Sementara sejolinya, yakni zebra cross, dihadirkan untuk memastikan penggunanya yakni si penyeberang jalan, selamat.

Nah urusan selamat tidak selamat di sini tampaknya kerap disepelekan pengendara lain yang tak peduli keberadaannya. Kita sebut saja pengendara macam ini dengan: pengendara jahat. Ibaratnya, ketika bangjo dan zebra cross jadi sejoli mesra, pengendara jahat adalah sengkuninya.

Sepintasan pandangan mata sore tadi (31/7/2018) di lokasi, saat lampu bangjo menyala merah, beberapa pengendara memang patuh. Berhenti. Tapi ya itu tadi, beberapa di antaranya berhenti tepat di zebra cross.

Ada yang dengan tenang berhenti di sana sambil memainkan ponsel, ataupun yang mau berhenti di belakang zebra cross tapi justru mendapatkan klakson-klakson tak beradab dari pengendara belakangnya. Akhirnya ya dia maju juga, berhenti tepat di atas zebra cross.

Alhasil, mau tertib tapi setengah hati, runtuh pula niat baiknya memberi kesempatan pejalan kaki menyeberang.

Kalau mau dilihat dari regulasi, sebetulnya sudah sangat jelas. Aturan dan sanksi pelanggarnya. Itu ada di Undang-Undang nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).

Misalnya di Pasal 131 ayat (2), disebutkan pejalan kaki berhak mendapatkan prioritas saat menyeberang di tempat penyeberangan. Kalau di ayat (1) disebutkan haknya pejalan kaki atas ketersediaan fasilitas pendukung, berupa trotoar, tempat penyeberangan dan fasilitas lain.

Nah untuk pengemudi kendaraan bermotornya, bisa dilihat di Pasal 106 ayat (2), bahwa setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan wajib mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda.

Kalau melanggar, mari kita lihat Pasal 284 disebutkan setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor dengan tidak mengutamakan keselamatan pejalan kaki atau pesepeda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).

Tapi aturan tetaplah aturan yang sering ada celah untuk tidak dipatuhi. Kehadiran polisi di pos seberang sana, seringkali tak dihiraukan pengemudi jahat model begini. Entah itu polisi yang ogah-ogahan menindak, atau karena sebab lain.

Karena jalanan adalah satu ruang sosial, maka alangkah baiknya kalau kita memosisikannya sebagai sama-sama manusia. Entah itu pejalan kaki ataupun pengemudi.

Jadi aturan yang paling bagus adalah nurani, rasa saling menghormati dan toleransi. Hidup di ruang sosial haruslah menghormati yang lain. Keberadaan pejalan kaki harus dihormati. Mentang-mentang pakai motor atau mobil kreditan, lalu bisa berhenti seenaknya.

Tentunya demikian pula pejalan kaki juga menghormati lainnya, misal dengan menyeberang ketika bangjo menyala merah. Nggak kesusu lari kencang saat menyeberang jalan. Ini bukan arena lomba lari kawan.

Karena nurani adalah yang paling jujur, tak usahlah baca pasal-pasal di atas tadi yang frasenya kerap bikin ngos-ngosan saat baca. Tak perlu juga debat dalil-dalil agama untuk perkara ini. Nanti terlalu ribet. Lha wong itu yang mau nyeberang sudah terlalu lama nunggu di pinggiran. Beri kesempatan yaa...

 

FOTO EKA SETIAWAN

Pengemudi kendaraan bermotor kerap tidak menghiraukan kehadiran zebra cross saat berhenti. Lokasi di ujung barat Jalan Prof. Sudharto, Kecamatan Banyumanik, Kota Semarang, Selasa (31/7/2018).

 

 

Komentar

Tulis Komentar