Kentrung, Story Telling ala Budaya Jawa

Other

by Kharis Hadirin

Di era kejayaan gadget seperti sekarang ini, terutama bagi generasi yang hidup di Tanah Jawa, agaknya sangat asing mendengar istilah Kentrung. Atau bahkan mungkin tidak pernah mendengar sama sekali kata tersebut. Wajar sih!
Terlebih dengan adanya berbagai kemudahan akses teknologi, mampu melipat dunia hanya melalui sentuhan jari. Bisa sambil minum kopi, duduk-duduk manja di kafe sambil nyemil pancake bak selebriti, atau bisa sambil tiduran kuda di atas kasur layaknya permaisuri. Tak perlu butuh kaki, cukup dengan koneksi Wifi, maka dunia dan seisinya seolah berada di genggaman jari.
Dan lagi, hari gini masih ngomongin tradisi, budaya bahula, apalagi dengan istilah-istilah jumud yang kurang trendy. Dasar, ndeso! Nggak gaul, nggak funky, dan kampungan. Sekarang tuh zamannya Tik Tok, tua-muda bebas berekspresi dan unjuk gigi, kekinian dan semua bisa happy.
Anak muda kok diajak bahas tentang budaya. Lebih asyik pantengin TV, nonton acara gosip artis-artis terkini, apalagi ngomongin Nikita Mirzani yang sekarang sudah berhijab, atau si teteh cantik Inneke Koesherawati yang kena OTT KPK. Lebih seru ngerumpiin doi sambil hang out meski cuma nongkrong di warung kopi 3 ribuan yang biasa buka 24 jam tiap hari.
Buat yang nggak tahu OTT, itu kepanjangan dari Operasi Tangkap Tangan. Istilah gaulnya tertangkap basah, hanya dibahasakan demikian agar terlihat seperti akademisi.
Tapi tahukah kalian! Dulu, di generasi yang lahir era tahun 80-an akhir, Kentrung pernah menjadi pertunjukan seni yang cukup digemari oleh seluruh lapisan masyarakat baik yang tinggal di desa maupun perkotaan. Bak primadona bagi kaum jelata.
Terutama menginjak tahun 80 hingga 90-an, saat TV masih menjadi barang milik kaum berdasi, saat gadget belum merampas hak-hak kami, saat budaya Barat belum menggempur dan mengkorosi tradisi budaya anak-anak kini.
Kentrung adalah budaya tradisional yang merupakan perpaduan antara seni musik dan kemampuan bercerita yang dipentaskan di atas panggung. Dalam bahasa kekinian, Kentrung adalah pertunjukan story telling atau seni bertutur yang lahir dalam budaya masyarakat Jawa.
Ia diperankan oleh seorang Dalang dengan mengambil cerita urban legend yang lahir di masyarakat Jawa dan mengusung tema yang sarat akan muatan ajaran kearifan lokal atau local wisdom. Misalkan tentang cerita pewayangan, legenda Angling Dharmo, kerajaan-kerajaan Jawa kuno, cerita Wali Songo, maupun hikayat lama yang menjadi legenda di masyarakat setempat dan sebagainya.
Kemudian, cerita tersebut disampaikan dalam bahasa rancak berirama menggunakan Bahasa Jawa halus diiringi tabuhan suara gendang bertalu-talu yang dimainkan sang Dalang di atas panggung seorang diri. Meski demikian, ada juga yang dimainkan oleh dua orang yang berperan sebagai Dalang dan Asisten Dalang, atau secara berkelompok.
Sesekali sang Dalang menggunakan bahasa-bahasa satire dalam menyampaikan pesan atau hikmah. Terkadang pula disisipi lelucon yang menghadirkan gelak tawa dari para penggemarnya.
Pertunjukan Kentrung biasanya berlangsung dari malam hingga menjelang pagi. Meski dengan durasi sangat lama, namun penonton seolah tersihir untuk enggan beranjak diri hingga pertunjukan usai. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semuanya ikut menikmati pertunjukan seni melalui cerita dari sang Dalang.
Sejarah lahirnya Kentrung
Seni pertunjukan Kentrung berasal dari Desa Bate, Kecamatan Bangilan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Karenanya, Kentrung juga dikenal sebagai Kentrung Bate. Merujuk pada nama daerah asal dimana pertunjukan seni ini lahir. Kesenian ini, pertama kali dipopulerkan oleh Kyai Basiman di era kolonialisme tahun 1930-an.
Kata Kentrung sendiri berasal dari kata Ngreken dan Ngantung. Ngreken berarti menghitung, sedangkan Ngantung berarti berangan-angan. Kedua kata tersebut digabungkan menjadi satu padan kata baru, yaitu Kentrung. Maksud dari perpadanan kata tersebut adalah mengatur jalannya suatu peristiwa dengan berangan-angan. Karenanya, pertunjukan Kentrung juga lebih terlihat seperti seni mendongeng.
Ada juga yang berpendapat bahwa Kentrung berasal dari kata Kluntrang-Kluntrung, yang artinya pergi dan mengembara kesana kemari. Karena Kentrung sendiri sejatinya merupakan seni pertunjukan dongeng keliling ala musisi jalanan yang dipentaskan dari satu tempat ke tempat lain.
Kesenian ini tersebar ke berbagai wilayah, terutama di kawasan pesisir utara Jawa. Kesenian ini juga berkembang pesat di zamannya, terutama di wilayah Semarang, Pati, Jepara, Tuban, Lamongan, dan beberapa wilayah sekitarnya.
Kentrung sendiri tidaklah lepas dari pengaruh metode dakwah yang dilakukan oleh Sunan Kalijogo waktu itu (salah satu nama dari 9 Wali Songo). Sejarah mencatat, metode dakwah yang diterapkannya dianggap cukup efektif untuk merangkul masyarakat agar mau menerima ajaran Islam, yakni melalui seni pertunjukan Wayang.
Metode Sunan Kalijogo ini kemudian diadopsi oleh Kyai Basiman, seorang tokoh agamawan setempat dalam kegiatan syi’ar Islam di wilayah Tuban.
Berbeda dengan Wayang yang menggunakan media tokoh-tokoh simbolik dan sarat akan budaya Hindu, Kentrung lebih menekankan pada kemampuan lisan sang Dalang dalam membangun sebuah cerita diiringi alunan tabuhan suara gendang.
Hiburan bagi rakyat kecil
Saya yang lahir akhir 80-an di kawasan pesisir Lamongan, merasakan betul bagaimana suasana kehidupan desa yang jauh dari hiruk pikuk kota. Seolah terasingkan dalam suasana gejolak politik nasional maupun global dan menjadi bagian masyarakat dari negeri antah berantah. Buta akan segala informasi.
Bayangkan saja, saat itu TV masih menjadi barang yang begitu langkah. Para pengoper koran maupun majalah juga agaknya enggan untuk masuk ke desa kami, sekedar hanya untuk berbagi info terkini. Barangkali mereka juga paham, bagaimana mungkin koran dijajakan di wilayah kami sementara sebagian besar masyarakatnya masih buta aksara. Saya masih ingat, kedua orang tua saya sampai akhir hayat tiba masih belum bisa sama sekali sekedar hanya untuk membuat tanda tangan di KTP. Akibatnya, setiap kali hendak membuat KTP baru atau dokumen lainnya, mereka hanya cukup diminta membubuhkan tanda cap jari, tak lebih.
Maka jadilah masyarakat kami ibarat sekumpulan anak bebek yang kehilangan induknya, tak tahu harus berbuat selain menikmati apa yang ada. Berbicara politik, amit-amit. Sekedar menyebut nama pemimpin negeri ini saja, waktu itu seperti seolah mendengarkan dongeng tentang kisah hantu Jerangkong (nama lain Genderuwo) untuk menakut-nakuti anak-anak yang susah tidur. Seram, nggak ketulungan.
Maka bagi kami, remaja kampung yang hidup dalam keterbatasan di tahun 90-an, pertunjukan Kentrung dianggap sebagai salah satu media hiburan alternatif yang bergengsi dan bisa dinikmati bersama keluarga secara gratis.
Seni bertutur yang sering tampil “lesehan” tersebut juga digunakan sebagai media penyambung lingkar sejarah rakyat, khususnya sejarah yang berkaitan tentang legenda maupun ajaran Islam yang berkembang di Tanah Jawa. Kesederhanaan tampilan dengan menggunakan bahasa Jawa dan dialek daerah yang mudah dimengerti, sehingga ceritanya juga mudah diterima masyarakat, terutama lapisan kelas menengah ke bawah.
Primadona yang tak lagi diminati
Kentrung mencapai masa keemasan pada tahun 1970 hingga awal 1990-an. Selama lebih dari dua dasawarsa tersebut, hampir seluruh masyarakat yang berpesta mengundang kelompok-kelompok Kentrung yang ada di wilayah mereka. Seni Kentrung pun mengalami banyak perkembangan dan diminati oleh berbagai kalangan.
Namun, memasuki akhir tahun 1990-an, saat TV mulai menjamah pasar Indonesia dan layar tancap mulai menawarkan alternatif hiburan yang praktis, pertunjukan Kentrung pun mulai ditinggalkan oleh para penggemarnya. Kesenian tradisional Kentrung mulai terseok-seok seakan hidup segan mati pun tak mau.
Selain itu, faktor yang membuat semakin hilangnya seni tradisional ini adalah karena tidak adanya penerus yang mengajarkannya kepada generasi muda. Akibatnya, kesenian ini dianggap terancam punah karena dinilai gagal melakukan regenerasi. Sejumlah orang yang masih mampu memainkan kesenian ini sendiri kebanyakan sudah papah.
Sementara, banyak kalangan muda mulai beralih pada seni yang lebih modern. Sedangkan kesenian Kentrung, dianggap tak mampu menghadirkan nuansa baru yang lebih modernis. Pakem, dan dipandang sebagai hiburan untuk kalangan tua saja.
Bagi saya yang pernah menikmati kesenian ini, Kentrung seolah telah kehilangan makna yang terkandung di dalamnya. Sebab sejatinya, Kentrung bukan hanya sebatas pertunjukan rakyat semata, melainkan seni bertutur bernilai tinggi yang mungkin hanya bisa ditemukan di wilayah Jawa.
Dan sekarang, barangkali yang tersisa hanyalah tumpukan kenangan dalam memori yang kelak akan menjadi cerita bagi anak-anak bahwa dahulu Kentrung adalah hiburan penuh makna dan menjadi bagian hidup bagi kami.
Sumber foto : http://www.blorakab.go.id/index.php/public/berita/detail/321/seni-kentrung-blora-masih-berkumandang

Komentar

Tulis Komentar