Bagi sebagian orang, masuk penjara mungkin adalah akhir segalanya. Sehari-hari hanya meratapi nasib, menghabiskan waktu di balik jeruji tanpa hal berarti. Tapi, bagi sebagian yang lain, jeruji ternyata tak menghalangi prestasi. Mereka ini justru makin bersemangat sebagai ajang perbaikan diri.
Hal itu setidaknya yang saya temui sekitaran tahun 2010 hingga 2017, dari mereka-mereka yang ‘tergelincir’, salah jalan, hingga akhirnya meringkuk di balik terali besi. Di rentang waktu itu, saya bekerja menjadi pewarta berita, istilah gampangnya: wartawan. Selama 8 bulan pertama, saya bekerja untuk sebuah media lokal di Semarang di bawah grup Jawa Pos, sisanya di koran milik MNC Grup.
Hampir 90 persen ketika menjadi wartawan, saya selalu ditempatkan di bidang hukum dan kriminal (hukrim). Bidang liputan yang istilahnya; pantang mematikan handphone meskipun hari libur.
Salah satu sebab pantangan itu, karena peristiwa kan tak mengenal jadwal. Sewaktu-waktu bisa terjadi. Ini dituntut yang membidangi liputan itu harus stand by 24 jam. Kapan ada informasi peristiwa masuk, saat itu pula harus bergegas ke Tempat Kejadian Perkara (TKP). Perampokan tidak mungkin terjadwal bukan? Hehehe
Bergelut di bidang ini ternyata menyenangkan. Salah satu pos liputan saya adalah penjara. Wah, dari awal meliput di sana, sangat menantang bagi saya. Saya membayangkan akan bertemu dengan orang-orang yang berada di balik jeruji, dan siap mendengarkan segala ceritanya.
Salah satu yang saya temui adalah grup futsal di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas 1 Semarang alias Lapas Kedungpane. Saat itu September tahun 2013 saya ke sana untuk meliput sebuah seremoni di sana. Tak betah lama-lama di dalam ruangan, saya iseng keluar jalan-jalan sekitaran blok.
Ternyata bertemulah dengan, G, seorang pelatih salah satu klub sepak bola di Jawa Tengah yang beberapa waktu sebelumnya ditangkap polisi karena pesta sabu usai timnya bertanding di Semarang. Wah, saya langsung menyapanya.
“Wah Pak, sehat? Wah masih aktif olahraga ya meskipun di sini,” saya mendekat, mengulurkan tangan bersalaman.
Dia saat itu mengenakan sepatu olahraga, celana training dan kaus warna hitam lengkap dengan peluit dikalungkan di leher. Olahragawan banget lah.
“Masih ingat saya ya Mas. Iya dong, jiwa saya tetap sepak bola,’’ katanya yakin.
Dia kemudian mengajak saya di kantin penjara setempat. Di dalam. Seingat saya, ditraktir teh manis dan mi rebus olehnya. Kantin ini dikelola para narapidana setempat, sebagai salah satu kegiatan positif menghabiskan masa hukuman.
Sambil duduk di kursi plastik dan meja ala kadarnya, si pelatih yang saat itu juga berstatus narapidana narkoba, ternyata banyak bercerita. Dari awal saya yang sudah tertarik, makin tertarik dengan ceritanya.
Dengan bangga, dia bercerita meski di dalam penjara, membentuk tim futsal. Keahliannya dalam strategi sepak bola dia terapkan di sana. Timnya bernama Kedungpane Futsal Club (KFC), dibentuk April tahun 2013. Dia melatih setelah mendapat persetujuan kepala penjara setempat.
Pada Mei 2013, alias sebulan setelah dibentuk, tim futsal besutan G menyabet Juara 1 Pekan Olahraga Narapidana (Porsnap) yang digelar di Rumah Tahanan Negara (Rutan) Purwodadi. Pertandingan futsal digelar antar penjara, entah itu berstatus lapas maupun rutan di Jawa Tengah. Di laga final, KFC ini mengalahkan tim futsal narapidana dari Nusakambangan.
Cerita dari G ini makin membuat saya tertarik. Sebagai pewarta, saya dituntut punya insting tajam dan membuat berita yang tak biasa, yang media lain tidak membuatnya. Inilah yang mendorong saya meminta izin pada G untuk meliput tim futsal asuhannya. G dengan senang hati mengiyakan.
“Wah saya senang betul kalau ada media yang menuliskan. Sebentar Mas, saya kumpulkan pemainnya dulu,” kata dia sembari setengah berlari menuju blok demi blok. Kemudian meniup peluit sembari memberikan instruksi para pemain untuk berkumpul.
Ternyata betul, bunyi peluit dan instruksinya ampuh. Tak lama, beberapa orang keluar dari blok-blok berbeda, lengkap sudah dengan memakai seragam dan sepatu sepak bola. Mereka kemudian berkumpul di lapangan tanah berdebu yang lokasinya di antara blok-blok penjara.
Si pelatih ini kemudian meniup peluit lagi. Menginstruksikan pemainnya untuk pemanasan dan berlatih teknik dengan bola. Beberapa pemain terlihat mengguyur lapangan berdebu itu dengan air dari ember. Cukup mengurangi debu.
G kemudian mendekat pada saya yang mengikutinya di pinggir lapangan sembari menyiapkan kamera. Dia bercerita, totalnya di KFC ada 16 pemain, dibentuk jadi 2 tim.
Latar belakangnya berbeda, juga menghuni blok yang berbeda. Di antaranya; tim ini terdiri atas 2 narapidana terorisme, 4 anggota Polri tersangkut pidana, eks kepala desa yang kena kasus korupsi, ada pula narapidana umum lainnya.
Mereka berlatih 4 kali seminggu: tiap Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, mulai pukul 16.00 WIB hingga jelang magrib. Tiap kali hendak berlatih pula, mereka menyiram lapangan dengan air dari ember ataupun selang. Tujuannya, agar tak terlalu berdebu.
“Saya melatihnya beberapa macam, mulai fisik hingga teknik, semuanya berkembang. Untuk kipernya itu narapidana teroris, bagus sekali. Kok sama bola, sama bom saja nggak takut,” lanjutnya sembari terkekeh.
Dia tahu betul bagaimana mendisiplinkan pemain. Latihan dibuat rutin dan tertib, meski serius tapi tetap santai. Ini agar para pemain betah. Karena salah satunya, cukup susah mencari pemain di antara narapidana. Kalau mereka tak betah, jangan-jangan keluar dari tim. Bisa repot cari penggantinya.
“Saya sendiri tetap harus semangat menjalani. Sama seperti mereka, para pemain yang saya latih di KFC. Mens sana in corpore sano, dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat,” kata pengagum pesepakbola Ronni Pattinasarani (Indonesia) dan Socrates (Brasil) ini.
Saat itu, meski sudah mengantongi gelar juara tingkat provinsi, KFC tetap berlatih untuk berbagai kejuaran berikutnya, misalnya Piala Gubernur. Uji coba dengan tim-tim luar kota juga dilakukan.
Kapten tim, R, yang merupakan terpidana korupsi, menyebut bergabung dalam KFC ini membawa banyak perubahan diri. Melatih kerjasama tim, saling percaya. Menurutnya, tidak ada perbedaan latar belakang maupun kasusnya, entah itu pidana umum atau pidana khusus. Semuanya sama. Sama-sama berlatih, mengukir prestasi.
“Pelatih selalu menekankan, jangan bermain kasar. Bermain harus sportif,” kata mantan kepala desa ini kepada saya, saat itu.
Mereka pun terus berlatih. Sesekali, di sela wawancara, G meniup peluit untuk memberikan instruksi kepada para pemainnya. Ah, pemandangan yang mengasyikkan di dalam penjara.
“Yang terpenting adalah membenahi mental. Menyamakan persepsi, sama-sama bagian dari tim. Jangan menonjolkan latar belakang, nggak ada polisi, nggak ada teroris atau kriminal lain. jadikan seperti profesional,” tutup G.
Terimakasih Pak, sudah mau berbagai cerita. Saya hampir-hampir lupa kembali ke acara seremonial di dalam ruangan tadi. Sore hari, saya bergegas ke kantor Biro Jawa Tengah dan DIY (saat itu), menuliskan cerita mereka dengan gembira. Esok harinya, berita yang saya tulis tentang mereka, mejeng di halaman 1. Alhamdulillah.
Bersambung…
FOTO EKA SETIAWAN
Tim Kedungpane Futsal Club (KFC) berlatih di lapangan dalam penjara. Foto diambil 16 September 2013.