Jalan Damai di Meja Saji

Other

by Eka Setiawan

 

Enam tahun yang lalu, Yusuf masih malu-malu menyajikan hidangan kepada pelanggannya di warung bistik yang dikelolanya. Yusuf saat itu memang tak sedang mengangkat senjata untuk berperang, namun mengangkat sutil atau spatula untuk memasak sekaligus menyajikan kepada setiap pelanggan yang datang di warungnya.

Sikap minder dan bingung Yusuf saat itu cukup beralasan. Wajar saja, Yusuf saat itu baru menyandang status sebagai eks narapidana terorisme (napiter). Dia yang punya nama asli Machmudi Hariono divonis 10 tahun dan dia jalani 5,5 tahun.

Hukumannya saat itu dijalani di 3 penjara, berpindah-pindah. Mulai dari Polda Jawa Tengah, Lapas Nusakambangan hingga Lapas Kelas I Semarang alias Lapas Kedungpane.

“Saat itu masih canggung untuk komunkasi dan interaksi dengan orang-orang baru. Saya menyadari pasti ada stigma negatif sebagai eks napiter yang dialamatkan kepada saya,” kata Yusuf saat diwawancarai Januari lalu.

Ketika itu Dapoer Bistik awal-awal di buka, di Kota Semarang. Itu adalah sebuah unit usaha kepunyaan Noor Huda Ismail, seorang aktivis sosial sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP).

Yusuf adalah salah satu eks napiter yang dirangkul Huda, melalui YPP untuk deradikalisasi. Semangat terus diberikan untuknya.

Sebab itu pula, Yusuf punya prinsip show must go on! Kehidupan terus berjalan. Toh walaupun sulit, stigma eks napiter yang punya konotasi negatif, pastilah akan terkikis. Perlahan namun pasti, roda itu berjalan.

Seiring waktu berjalan, rasa minder dan canggung Yusuf mulai terkikis. Apalagi kuliner bikinannya ternyata lezat. Banyak pelanggan yang memuji hasil masakan Yusuf. Akhirnya, dari yang semula minder dan canggung, senyum lebar mulai tersungging di wajah Yusuf.

Roda bisnispun berjalan sebagaimana mestinya. Cukup menggembirakan.

“Karena di sini banyak berinteraksi dengan orang, akhirnya jadi terbiasa. Tidak canggung lagi,” lanjutnya.

Di usaha yang dikelolanya, Yusuf tak sendirian. Ada orang-orang lain yang direkrut sebagai karyawan. Mereka berasal dari kelas-kelas marjinal; mulai anak-anak putus sekolah maupun yang punya background seperti Yusuf.

Namun demikian, sekali lagi bekerja bersama itu awalnya tidak mudah. Selain ada pelanggan yang penasaran siapa background orang-orang di warung itu, juga sebaliknya beberapa karyawan juga masih canggung-canggung untuk melayani pelanggan. Sama persis seperti yang sempat dialami Yusuf.

“Anak-anak (karyawan) juga penasaran. Kenapa yang datang ke warung untuk makan itu polisi, jaksa, pengacara, pejabat, PNS atau bahkan teman-teman eks napiter bersama keluarganya. Dari segi penampilan kan terkesan aneh bagi mereka. Tapi perlahan saya jelaskan kepada mereka,” lanjutnya.

Lewat unit usaha itu juga Yusuf membentengi teman-teman sepekerjaannya dari paham-paham radikal yang sempat dia ikuti. Berbagi pengalaman sangat manjur untuk jadi cara ampuh mencegah orang lain tidak terseret radikalisme.

Selain warung bistik, Yusuf juga punya usaha rental mobil, termasuk laundry. Semua itu, dia gunakan untuk melanjutkan roda kehidupan pascajalan kekerasan yang sempat dijalani.

“Saya juga sering besuk teman-teman di lapas. Saya bawakan masakan dari warung yang saya kelola, dikenalkan kepada mereka. Ini jadi bukti, saya tidak lagi berada di jalur yang dulu (radikalisme),” bebernya.

Kini bertahun-tahun berlalu. Usaha yang dijalani Yusuf makin berkembang pesat. Karyawan yang dipekerjakan sudah belasan orang. Warung yang sempat buka di Semarang kini pindah ke Solo, di Jalan Kebangkitan Nasional.

Tergelincir

Yusuf mengenang, ketika SMA dulu di Jawa Timur, dia yang kelahiran Jombang 1976, mulai tertarik dengan berbagai konflik bersenjata yang terjadi di Timur Tengah. Semuanya ditonton Yusuf via video. Di situ digambarkan bagaimana kaum Muslim jadi korban kekerasan.

Sebenarnya pihak sekolah sempat melarang. Namun, larangan itu justru memicu rasa ingin tahunya lebih besar. Dia kemudian mencari-cari bahkan ke beberapa kota hingga akhirnya menemukan video-video itu. Bentuknya keping CD.

Tak hanya menonton video, Yusuf juga mulai mempelajari banyak hal tentang jihad. Mulai artikel, literatur, buku atau majalah yang berkonten konflik bersenjata maupun ajakan untuk berjihad, dia lahap.

“Untuk video saya dan beberapa teman sempat datang ke Kantor Departemen Agama Kabupaten Jombang. Di situ kami bisa menonton dengan leluasa,” kenangnya.

Semangat mudanya berkobar. Lulus SMA, Yusuf memang sempat kuliah. Tapi hanya bertahan 2 semester saja. Dia memutuskan ingin jadi relawan umat Muslim. Berangkat jihad.

“Dulu belum ada namanya dialog tentang jihad. Tapi solidaritas Islam,” jelas Yusuf.

Ketertarikan itu bak gayung bersambut ketika dirinya datang ke pondok pesantren milik Amrozi, gembong Bom Bali I. Yusuf pun langsung mendapat tawaran untuk di kirim ke Poso dan Ambon.

“Karena bagi kami akan lebih mantep ketika melihat langsung konflik yang sedang terjadi apakah betul atau tidak. Ketika mendapat tawaran ke sana, saya langsung mengiyakan,” lanjutnya .

Setelah tiket  didapatkan, Yusuf melakukan perjalanan menuju Ambon melalui jalur laut, selama tujuh hari. Saat sampai di Palu, Sulawesi. Dia sempat ditanya apa keperluannya datang ke situ oleh salah seorang di sana.

Kemudian dia diarahkan untuk menyeberang ke Malaysia via Pelabuhan Nunukan, Kalimantan Utara yang merupakan pelabuhan lintas dengan Kota Tawau, Malaysia. Dari jalur itu dia menyeberang ke Filipina selatan yang merupakan wilayah konflik. Itu terjadi tahun 2000.

Di Filipina itu Yusuf beragabung dengan Moro Islamic Liberation Front (MILF). Di sana Yusuf angkat senjata, setelah tentu saja sebelumnya mendapat berbagai teori dan pelatihan praktik.

Dua tahun di Filipina, secara tak sengaja Yusuf akhirnya bisa pulang ke Indonesia, ke tanah kelahirannya di Jawa Timur. Saat itu, setelah 2 tahun Yusuf meminta kepada komandannya untuk pindah tugas di gudang senjata.

Komandan sempat meminta Yusuf untuk berkemas. Alih-alih pindah tugas. Yusuf ternyata dibawa pulang ke Indonesia. Nah, saat pulang itu kebingunan melanda. Beberapa tetangga mengira Yusuf baru pulang dari luar negeri jadi TKI. Menghindari kecurigaan, Yusuf mengiyakan saja. Dia katakan baru kerja dari Malaysia, tapi uangnya sudah habis.

Karena galau tidak ada aktivitas, Yusuf hijrah ke Semarang. Itu tentu saja setelah berkomunikasi dengan teman-temannya yang sempat berjuang bersama di Filipina dan jaringan mereka.

Menempati rumah kontrakan di Semarang, saat itu Yusuf diminta usaha jual sandal dan sepatu. Tiga bulan awal usahanya berhasil. Namun pada bulan ke 4, rumah kontrakan yang disewa beberapa temannya itu ternyata dititipi berbagai bahan peledak termasuk peluru tajam dan buku-buku tentang jihad. Akhirnya rumah itu digerebek polisi, dan Yusuf ditahan.

 

 

FOTO: Yusuf di Dapoer Bistik Solo.

Komentar

Tulis Komentar