Oleh: Eka Setiawan
Ketika beberapa tahun lalu saya berkunjung ke Toko Buku Gramedia Semarang, pandangan saya langsung tertarik pada sampul buku kartun karya Mice. Sampulnya bergambar orang main kelereng dengan judulnya; Game Over; No Friends No Games!
Tanpa pikir panjang, saya ambil buku itu dan saya tukarkan dengan beberapa puluh ribu rupiah di meja kasir. Saya bawa pulang ke tempat kos di daerah Tembalang, Kota Semarang dengan semangat. Tak sabar ingin membuka lembar demi lembar.
Ah nostalgia masa lalu (kecil). Bagi saya yang lahir era akhir 80’an, cerita bergambar di buku itu sangat relevan. Mengantarkan ke kisah kecil bersama teman-temanku. Bagi yang lahir 90’an mungkin masih relevan juga. Tapi enggak tahu juga kalau yang zaman now.
Aku tumbuh di pesisir Kota Tegal, Jawa Tengah, yang tentunya Pantura abis. Ada laut, pasir, tambak, deru mesin kapal, hingga rombongan truk besar yang gede-gede melintas jalan Pantura. Berdasar berita yang saya baca di detik.com, Menteri PU menyebut jalur Pantura Jawa adalah ruas jalan terpadat di dunia lhoo. Tiap harinya dilalui sekira 40ribu kendaraan.
Saya percaya aja sih, setidaknya dari dulu waktu kecil sampai sekarang, berkendara atau menyeberang di Pantura harus ekstra hati-hati. Saking padatnya hahaha.
Di sini saya enggak akan cerita soal Pantura yaa. Tapi cuma mau cerita soal masa kanak-kanak yang menyenangkan.
Hampir tiap hari, yang saya pikirkan termasuk dengan teman-teman adalah bermain. Misal di sekolah; kami pagi-pagi betul berangkat ke sana bukan karena semangat seklah: tapi karena pingin segera ketemu teman-teman untuk bermain.
Di lapangan sekolah biasanya kami bermain gobak sodor, kelereng yang membuat saku seragam sekolah tampak lebih hitam dari bagian lainnya. Sesekali kami juga main sepak bola dengan bola plastik yang biasa disembunyikan di antara semak ketika permainan usai.
Beragam permainan lainnya juga kami mainkan. Yang membubarkan permainan di lapangan sekolah pagi itu hanya bunyi bel masuk. Toh, selepas berbaris, tertib masuk kelas sambil cium tangan guru dan berdoa sebelum belajar, kami tetap bermain-main. Setidaknya dengan cara mencoret-coret meja sekolah hahaha. Untuk yang ini kami sering kena marah juga.
Bel istirahat atau pulang sekolah adalah bunyi paling merdu. Meski hanya berasal dari lonceng dipukul potongan besi, tapi bunyi itulah penanda permainan bersama teman-teman akan kembali dilanjutkan.
Yang laki-laki kembali ke semak untuk ambil bola. Beberapa terlihat main kelereng atau memanjat pohon. Yang perempuan biasanya bermain laiknya masak-masakan dengan alat seadanya. Beberapa juga terlihat bermain dengan gambar mini (biasanya berbentuk potongan gambar gadis memakai baju mini yang nantinya dipasangkan dengan gaun ataupun pakaian lainnya).
Meski banyak yang bermain, banyak pula yang terlihat jajan di ibu kantin. Sesekali kami, termasuk saya, ke sana hanya untuk membeli es dan gorengan. Kemudian cepat-cepat melahapnya demi melanjutkan permainan.
Pulang sekolah, kami juga sering langsung ke pantai untuk nyemplung air. Meski saat pulang sering kena marah karena seragam basah dan kotor. Sore harinya kami biasa bermain bola, baik di pantai maupun lapangan tak mulus dekat perumahan.
Kami bermain dan terus bermain. Mau agamanya apa, mau orang tuanya kaya atau miskin ataupun beda sekolahan, tetap saja bermain.
Setelah menghabiskan sore, tentu saya bergegas mandi. Karena ibu sering marah-marah kalau saya tak segera pergi ke masjd. Bagiku, di rumah ada semacam aturan wajib kalau Magrib, salatlah di masjid disambung belajar di TPQ samping masjid. Itu waktu kecil dulu.
Tentunya di sana kami juga bermain-main.Hahaha. Loh di rumah ibadah kok main-main? Hehehe, setidaknya saat Imam sampai pada ayat terakhir Al Fatihah kami langsung menyambutnya dengan teriakan aaaamiiiinnn! Sekencang-kencangnya. Hahaha.
Beberapa orang di masjid sering menjewer kuping kami selepas salat karena hal itu. Kapok? Sesekali sih, selanjutnya, tetap saja; aaaamiiiinnn!!! Hahahaha.
Tapi tak jarang, dari permainan itu kami jadi berantem. Biasanya karena ada yang main curang ataupun tindakan tak sportif lainnya. Misalnya; mengintip saat main petak umpet.
Hal itu biasanya memunculkan suasana tak enak saat main dan kemudian bubar. Kadang sampai besoknya (kalau ketemu di sekolah) kami tak saling sapa. Tapi kalau malamnya mau main lagi, yaaa mau tak mau akhirnya kami bermain bersama lagi.
Meski awalnya sempat canggung ketika ketemu di lapangan lagi atau jalanan komplek perumahan. Tapi kami tahu, dia tetaplah teman, kadang juga sampai berpelukan minta maaf sambil sama-sama nangis. Tak kalah penting, saya, kami, juga tahu kalau permainan yang akan dimainkan itu tidak bisa dimainkan sendirian. Butuh teman lain untuk permainan itu bisa berjalan.
Masa kecil itu adalah gampang melupakan dan memaafkan. Kesalahan selalu bisa dimaafkan demi tertawa bersama kemudian larut dalam permainan.
Sama seperti hidup, selalu ada cara untuk kembali tertawa. Bagi pembaca yang rindu teman-teman kecilnya silakan disebutkan namanya yaaa…hehehe…
FOTO EKA SETIAWAN
Anak-anak mencoba berbagai jenis permainan tradisional saat gelaran Solo International Cullinary Festival (SICF) 2018 pada 14 April 2018 lalu di komplek Stadion Manahan, Solo.