Oleh : Eka Setiawan
“Pesantren harus jadi katalisator untuk perdamaian,”
Hal itu diungkapkan oleh Muhammad Hanif, pimpinan Pondok Pesantren Edi Mancoro, di kediamannya, Jumat (6/4/2018) siang. Rumahnya berada di komplek pesantren, Dusun Bandungan, RT02/RW01, Desa Gedangan Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.
Gus Hanif, sapaan akrabnya, bercerita ketika di Indonesia terjadi serangkaian aksi teror mulai tahun 2000 posisi pesantren dalam kondisi yang tidak bagus.
Salah satu sebabnya, beberapa pelaku teror itu memang berasal dari kalangan pesantren. Meski hanya segelintir individu saja pelaku yang terlibat berasal dari kalangan pesantren, namun stigma miring bisa saja terus dialamatkan pada pondok pesantren sebagai tempat penghasil teroris.
Lebih luas lagi, pada konteks ke-Indonesiaan, Gus Hanif juga sadar betul bahwa pesantren tentu saja berada di tengah masyarakat yang plural.
Artinya, terdapat berbagai perbedaan di dalamnya. Mulai dari perbedaan suku, budaya maupun agama.
Berangkat dari situ, Gus Hanif, sadar betul pesantren harus responsif terhadap isu-isu yang berkembang cepat di masyarakat. Namun, tentu saja harus tetap mengedepankan semangat persatuan dan kesatuan. Perbedaan adalah anugerah yang harus dijaga, sebab karena perbedaan itulah tercipta keindahan.
“Kami ingin mewujudkan harmoni, karena hidup harmoni itu susah. Kadang kita ingin dipahami orang lain, tapi kadang di saat yang sama kita nggak mau memahami orang lain,” sambung Gus Hanif.
Seperti yang sudah dilakukan pendahulunya, tak terkecuali ayahnya yakni KH.Mahfudz Ridwan, Gus Hanif lewat Pondok Pesantren Edi Mancoro itu berusaha meneruskan perjuangan pesantren sebagai tempat pembawa damai sekaligus sarana menimba ilmu bagi umat. Di ponpes ini, semua orang bisa belajar tanpa memandang latar belakangnya, bahkan keyakinan sekalipun.
Ponpes yang kini terdapat sekira 250 santri ini, jadi inisiator kegiatan lintas agama. Gus Hanif mengatakan pesantren yang dipimpinnya rutin berkegiatan bersama Sinode Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) maupun dengan para Biksu.
Kegiatan itu dinamai Sobat, yang kini sudah mempunyai 33 simpul tersebar di Provinsi Jawa Tengah maupun Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kegiatan lintas agama itu dimulai sejak sekitar 20 tahun lalu. Pasca 98′. Gus Hanif mengenang, ayahnya yakni KH. Mahfudz Ridwan, punya pemikiran Kota Salatiga dan sekitarnya harus kondusif. Meskipun pada saat itu, kerusuhan bahkan antar umat bisa cepat terjadi. Kondisi saat itu rawan provokasi.
“Bapak (saat itu) ajak kumpul tokoh masyarakat (termasuk tokoh lintas agama), tujuannya agar menjaga situasi tetap kondusif,” kenang Gus Hanif.
Pada perkembangannya, termasuk setelah ayahnya wafat pada tahun lalu, Gus Hanif terus berusaha membuat pesantren jadi solusi atas berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat.
Sebab itu pula, kegiatan lintas agama itu tak melulu hanya merespons isu SARA yang terjadi di masyarakat. Tapi, lebih dari itu, berbagai isu lain juga direspons untuk dicarikan solusinya.
“Seperti yang sempat dilakukan di Purwodadi (Jawa Tengah), itu soal lingkungan hidup,” sambungnya.
Asri
Mengunjungi Pondok Pesantren Edi Mancoro, memang menyenangkan. Lokasinya dari arah pertigaan Bawen, Kabupaten Semarang, kemudian ke Selatan, dekat dengan Kota Salatiga.
Berada di wilayah perbukitan dan pegunungan, membuat suasana di sana sejuk. Lokasi pesantren juga sangat dekat dengan Gunung Telomoyo. Meski ruangobrol.id, saat itu berkunjung pada siang hari, namun terik mentari tak terasa terlalu menyengat.
Lokasi di sana banyak pepohonan. Menghasilkan udara sejuk. Lokasi pesantren juga dekat dengan kawasan wisata alam Kampung Banyumili. Tak heran, saat berkunjung pesantren itu, terlihat pula ada beberapa bus wisata terparkir mengantarkan rombongan orang berwisata.
Beberapa penjual durian yang berasal dari warga setempat juga terlihat menjajakan buah lezat itu secara lesehan. Mereka berjualan tak jauh dari pelataran Masjid Darussalam, komplek pesantren.
Secara historis, sekira akhir 80’an hingga awal 90’an, Pondok Pesantren Edi Mancoro hanya merupakan sebuah tempat untuk pendidikan dan latihan LSM bernama Desaku Maju. Hingga akhirnya KH. Mahfudz Ridwan, mulai awal pendirian dan mengasuh pesantren itu, pada akhir 80’an.
Banyak santri, baik yang berasal dari warga setempat maupun dari luar akhirnya nyantri di sana. Salah satunya, Hanif Dhakiri, yang saat ini menjabat Menteri Ketenagakerjaan Indonesia. Hanif Dhakiri nyantri di Ponpes Edi Mancoro sekira 91′ – 92′.
“Edi artinya Bagus, Mancoro artinya Cahaya. Maknanya itu, agar di sini (pesantren) jadi cahaya yang bagus bagi semuanya,” tutup Gus Hanif.