Oleh : Eka Setiawan
Dwi Muryanto,31, lelaki asal Desa Purworejo, Kecamatan Ringin Arum, Kabupaten Kendal, merasa risih mendengar cerita-cerita miring tentang Pekerja Migran Indonesia (PMI). Stereotip negatif dialamatkan kepada PMI, mulai dari; isu lesbian, pergaulan bebas hingga kehidupan glamour dekat dengan narkoba. Setidaknya itu yang didengar Dwi dari cerita-cerita para tetangga maupun teman-temannya.
Berangkat dari situ, pada 2014 tercetuslah ide Dwi untuk membuat semacam gerakan kemanusiaan. Saat itu posisi Dwi juga masih bekerja di Korea, juga tentu saja sebagai PMI. Berawal dari kontak-kontak via telepon seluler (ponsel) Dwi membuat jejaring hingga tercetuslah gerakan kemanusiaan bernama Yayasan Gerak Peduli Kendal (GPK).
Kini, di tahun ke 4 berjalan, GPK bermetamorfosis dari gerakan kecil menjadi gerakan besar dari para BMI asal Kendal. Yayasan itu berdiri demi isu yang lebih besar: kemanusiaan. Tak hanya bertujuan menepis stigma miring tentang PMI yang tak jelas juntrungannya.
“Ada kepengurusan dan akta notarisnya. Legal. Kami rutin membantu mereka yang kurang mampu, terkena bencana. Awalnya hanya di Kendal, sampai kemudian diperluas lagi ke wilayah lain. Sekarang kami juga punya ambulans gratis,” kata Dwi kepada ruangobrol.id, saat ditemui di Desa Purworejo, Kecamatan Ringin Arum, Kabupaten Kendal, Rabu (4/4/2018) siang.
Dwi yang merupakan pendiri sekaligus ketua GPK, bercerita, sebagai PMI tentu memperoleh penghasilan cukup besar. Begitu juga dengan teman-temannya sesama PMI. Mereka bekerja di berbagai negara.
Hidup di luar negeri, tak membuat Dwi lupa kampung halaman. Apalagi, selain berbagai stigma negatif yang kerap dialamatkan pada PMI, Dwi juga kerap mendengar Kendal, sebagai kota kelahiran sekaligus tempat dia dibesarkan, masih banyak orang-orang membutuhkan bantuan.
Dwi memisalkan, ketika mendengar ada satu keluarga yang tinggal di rumah tak layak huni. Keluarga itu tinggal di rumah petak sangat sederhana berbaur bersama rongsokan. Sampai akhirnya salah satu balita di keluarga tersebut meninggal dunia karena menderita infeksi salurah pernafasan akut. Itu salah satu akibat tak bersihnya lingkungan yang ditinggali.
Kemudian cerita lain tentang keluarga yang rumahnya roboh butuh bantuan. Juga tentang anak-anak yang putus sekolah karena orang tuanya tak mampu membayar biaya sekolah. Ataupun pendidikan rendah karena untuk melanjutkan jenjang lebih tinggi, para orang tua mereka tak mampu lebih lanjut membiayai.

“Cerita-cerita di Kendal itu membuat kami tergerak untuk melakukan sesuatu, sekaligus memberikan fakta pada kami bahwa Kendal itu masih miskin,” lanjut Dwi.
Dwi lantas menyisihkan penghasilan bulanannya sebagai pekerja migran, begitupun dengan beberapa teman-temannya. Mereka menyebutnya sedekah. Tiap bulan sedekah dari para PMI itu dikumpulkan ke satu rekening khusus, untuk nantinya disalurkan kepada orang-orang di Kendal maupun luar Kendal yang membutuhkan bantuan.
Dwi tak mau menyebut berapa nominal yang berhasil dan rutin dikumpulkan. Ini lebih kepada alasan risih jika menyebut nominal. Tapi yang jelas, semua bantuan yang masuk dan keluar, tercatat rapi dan bisa dipertanggungjawabkan.
“Kami tidak mengambil keuntungan sedikitpun, istilahnya gaji. Yang digaji di struktur organisasi ini hanya petugas administrasi saja. Yang lain, murni bekerja tanpa pamrih. Kami ingin melakukan sesuatu untuk kemanusiaan,” beber ayah satu putri ini.
Dwi kini sudah tinggal di Kendal, dia tidak lagi meneruskan bekerja di luar negeri. Ada beberapa alasan. Di antaranya; karena ingin fokus di bidang kemanusiaan juga karena kesibukannya mulai sekira enam bulan terakhir menjadi petugas Desmigratif Desa Purworejo, Kendal. Desmigratif Desa ini merupakan program dari Kementerian Tenaga Kerja, yang salah satunya untuk meningkatkan keterampilan warga desa agar bisa mandiri, tak lagi bekerja di luar negeri.
Soal bantuan dari GPK itu, Dwi mengatakan sangat selektif. Artinya, ketika ada informasi ataupun permintaan bantuan, tentu akan ditampung dulu dan dilakukan cek lapangan. Dwi menyebut, di Kendal ada 20 Kecamatan yang semuanya sudah ada relawan GPK di bawah komandonya. Tujuan cek ini agar bantuan benar-benar tepat tersalurkan pada yang membutuhkan.
Aksi kemanusiaan yang sudah dilakukan di Kendal sudah banyak. Di antaranya; memberikan bea siswa pada mereka yang tidak mampu, sudah membantu renovasi 25 rumah dari tidak layak huni menjadi layak, santunan kepada kaum duafa, maupun membantu pengobatan hingga transportasi ambulans gratis.
GPK kini tak hanya ikut andil aksi kemanusiaan di Kendal, tapi juga daerah di luarnya. Misalnya; ketika terjadi Banjir Garut pada pertengahan 2017 lalu, kemudian Banjir Brebes pada Februari 2018 lalu ataupun ketika terjadi Banjir Aceh akhir 2017 awal 2018 lalu. Itu hanya sedikit dari yang dilakukan para PMI dari Kendal untuk kemanusiaan di bawah payung Yayasan GPK.
Untuk memudahkan koordinasi, Dwi membagi koordinator-koordinator wilayah (Korwil) terutama di luar negeri. Tempat para BMI asal Kendal itu bekerja. Di antaranya; Korwil Arab Saudi, Korea, Malaysia, Taiwan, Singapura, Hongkong dan Jepang. Mereka berkoordinasi sekaligus berbagi informasi memanfaatkan media sosial, seperti Facebook maupun grup WhatsApp. Sekretariatnya berlokasi di Desa Boto Mulyo, Kecamatan Cepiring, Kabupaten Kendal.
“Kami memegang amanah dari teman-teman, untuk sangu (saku) nanti (setelah meninggal dunia, pahala),” ungkapnya.
Relawan Yayasan GPK, Nur Hayati,30, menyebut dirinya secara cuma-cuma ikut bergabung. Kemanusiaanlah yang menggerakan hatinya. Meski tentu saja harus rela membagi waktu antara keluarga, mengurus suami dan anak balitanya, maupun rutinitasnya sehari-hari sebagai petugas Desmigratif Desa Purworejo, Kabupaten Kendal.
“Kami ingin membantu sesama, mereka yang membutuhkan,” tutur perempuan yang sempat 9 tahun bekerja di Hongkong sebagai BMI ini.