Oleh Eka Setiawan
Sebagai buruh migran Indonesia (BMI) yang kini bekerja di Hongkong, Fatma sempat mengalami kisah pilu bagaimana menjadi buruh migran. Itu saat dia sempat bekerja di Singapura selama 13 bulan. Juli 2007, dia masuk PJTKI di Semarang untuk bekerja di Singapura.
“Majikan saya saat di Singapura orang India. Saya sering mendapat perlakukan kasar,” kata Fatma melalui sambungan telepon WhatsApp.
Selain itu, Fatma mengaku saat bekerja di Singapura itu selama 13 bulan gajinya tidak dibayarkan. Selain tiap gaji bulannya terus dipotong oleh agensi kerja langsung dari majikan. Setiap malam dia hanya bisa menangis, mengadu lewat doa.
Oleh majikannya, dia juga tidak dizinkan menggunakan ponsel, telepon rumah juga tidak ada. Dan hampir tiap ruangan di rumah majikannya itu dipasang CCTV, bahkan termasuk persis di depan kamar mandi.
“Karena saya bingung mengadu ke siapa, hanya bisa mengadu ke Gusti Allah. Dulu saya sempat pernah mau bunuh diri, mau loncat dari lantai 17 (tempatnya bekerja). Saat kerja di Singapura saya juga tidak pernah dapat libur,” lanjutnya.
Saat di Singapura, Fatma mengakui banyak teman-temannya sesama BMI mengalami hal serupa. Dia mengatakan, teman-temannya banyak yang kabur ke KJRI. Teman-temannya bisa nekat kabur karena rata-rata majikan bekerja di luar rumah.
Jadi saat ditinggal majikan, mereka nekat lari. Fatma sendiri mengakui cukup sulit untuk kabur, karena hampir tiap hari majikannnya berada di rumah.
“Lari nyeker ke sana, karena tiap hari dipukuli majikan,” sambungnya.
Saat bulan ke 13 bekerja di Singapura itu, Fatma mengakui baru bisa pulang ke Indonesia. Dia mengatakan di Bandara di Singapura, berlari-lari sambil menangis bahagia karena bisa pulang sampai sujud syukur.
“Nggak perduli diliatin banyak orang. Saya juga akhirnya diizinkan pulang majikan saya, nggak tahu mungkin dia terketuk hatinya,” kata Fatma.
Di Singapura itu, sebenarnya Fatma sempat mengadukan semua yang dilakukan majikannya ke agensi kerja disebutnya bernama agen nation. Alih-alih mendapat pembelaan, Fatma justru malah disalahkan.
Walaupun sempat mendapat pengalaman pahit bekerja di luar negeri, Fatma tak patah arang. Semangat memperbaiki hidup jadi semangatnya.
Fatma yang tamatan SMP N 2 Patebon Kendal, mengaku secara ekonomi kehidupannya kurang beruntung. Ibunya janda, dia punya 3 saudara kandung dan 2 saudara tiri. Fatma anak nomor 4.
Walau demikian, Fatma mengakui dia yang diandalkan di keluarganya. Kakak-kakaknya hampir semua nikah muda, usia 17 tahun sudah menikah.
Dia berani bekerja sampai ke luar negeri demi memperbaiki hidup dengan mendapatkan gaji lebih besar. Bekerja di luar negeri juga melihat sebayanya di kampung. Dia mengatakan hampir semua perempuan di kampungnya bekerja di luar negeri.
“Saya yang paling kendel (berani) kerjane di keluarga. Sama-sama ‘mbabu’ sama-sama capeknya mending ke luar negeri, gajinya lebih besar juga bisa traveling gratis karena pesawat PP kan yang beli tiket majikan hehehe,” sambungnya.
Itu juga yang mendorong Fatma akhirnya nekat mendaftar lagi untuk bekerja di luar negeri. Dua minggu setelah pulang dari Singapura, dia mendaftar lagi untuk bekerja di luar negeri. Tepatnya pada Desember 2009.
Agen atau PJTKI-nya bernama PT. Victoria Lintas Buana berkantor pusat di Kota Semarang, tapi Fatma mendaftar di cabang Kendal. Sebelum berangkat dia mengaku sempat diminta pelatihan kerja oleh bosnya.
Dia diminta bekerja di rumah seseorang bernama Pak Indra, di kawasan elite di Kota Semarang. Pak Indra ini anak dari pemilik PT. Victoria Lintas Buana.
Meski seperti ‘kerja bakti’ karena bekerja berbulan-bulan dengan kedok latihan kerja, semangat Fatma tak luntur. Akhirnya berangkatlah dia ke Hongkong, pada Maret 2010.
Biaya berangkat dikatakan Fatma sekira 21 ribu Dollar Hongkong atau sekira Rp35juta. Pengembaliannya sistem potong gaji. Gajinya sebagai domestic helper, Rp7juta per bulan.

Menurut Fatma ini jauh lebih besar dari saat dia bekerja di Singapura Rp2,1juta per bulan, atau saat dia sempat bekerja di Kuwait hanya digaji Rp1,2juta per bulan. Bekerja di Kuwait, itu adalah awal pengalaman Fatma bekerja di luar negeri, sebelum berpindah ke Singapura.
“Saya bekerja di Hongkong sampai sekarang. Tiap bulan saya bisa nabung minimal Rp3juta per bulan, setelah saya gunakan untuk transfer keluarga, bisnis dan membeli kebutuhan pribadi,” sambungnya.
Bekerja di Hongkong, bagi Fatma jauh lebih menyenangkan. Majikannya juga bekerja di luar sehingga merasa lebih ‘bebas’. Majikannya bekerja dari pagi dan pulang saat petang.
Sekira pukul 07.00 malam waktu setempat, Fatma rutin menyiapkan makan malam majikannya setelah seharian bekerja. Hari Senin – Jumat, majikannya rutin bekerja dari pagi sampai petang di luar, hari Sabtu majikannya libur seharian di rumah dan hari Minggu Fatma mendapat jatah libur.
Bekerja di sana, Fatma juga diperbolehkan menggunakan telepon seluler (ponsel). Lewat ponselnya, dia bisa sering berkomunikasi, termasuk mulai merintis bisnis memanfaatkan media sosial.
Lewat medsos ini pula Fatma berkenalan dengan seorang pria asal Kendal yang kini jadi calon suaminya. Rencananya Maret 2018 mendatang, bertepatan dengan visanya yang habis, dia merencanakan akan pulang ke Indonesia dan mempersiapkan pernikahannya. Calon suaminya juga dia modali untuk berbisnis jual beli tripleks di Kendal.
“Nggakpapa, kan juga nantinya (saat menikah) jadi usaha kami berdua,” katanya.
Fatma bekerja di Hongkong juga punya waktu libur, yakni hari Minggu. Waktu ini dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Fatma. Sesekali ikut pengajian sesama BMI, juga pelatihan-pelatihan kewirausahaan yang kerap digelar secara gratis di sana.
Kini diakui Fatma, kehidupannya sudah makin menyenangkan dibanding dulu. Dia punya mimpi jadi pengusaha yang nantinya bisa membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang lain, mendirikan sekolah untuk anak-anak BMI yang ditinggal.
Dia juga sekarang sedang mengumpulkan buku-buku untuk nantinya jadi perpustakaan gratis di kampungnya.
“Karena kan sebaik-baik manusia adalah orang yang paling manfaat di dunia ini. Sehabis hujan muncul pelangi,” tutupnya.